Aku tahu bahwa kedatangan kami akan menyebabkan bencana untuk tempat dan orang-orang di dekat kami. Kami adalah buronan Neo Extreme, dan Neo Extreme yang tidak punya hati itu bisa berbuat apa saja untuk mendapatkan kami, terutama aku dan kekuatanku. Dan, kematian Tony dan Laura sangat memukul hatiku. Tapi, mungkin tak seberapa jika dibandingkan dengan apa yang dirasakan Kak Arka. Secara, Tony adalah temannya.
Setibanya di van dengan teleportasi, Kak Raffa menjadi pengemudi F1. Ia membawa kami pergi dari lingkungan itu sebelum menelan korban jiwa lebih banyak lagi. Merka - Neo Extreme - mengejar kami sambil menyerang dengan senjata api maupun kekuatan super yang beragam. Banyak yang akan menjadi korban kalau kami tidak menjauh atau menghentikan mereka.
Kami pergi ke arah selatan, sesuai arahan White Cap sebelum kami meninggalkan New York. Tepatnya ke Colombia. Kata mereka, di sana ada fasilitas penelitian White Cap yang bisa dipercaya. Kami harus mengantarkan obat yang kami dapatkan samapi ke tangan mereka dengan selamat. Setelahnya, katanya mereka yang akan menyampaikan informasi ke White Cap sesuai hasil temuan nanti.
Setelah berhasil melepaskan diri dari kejaran Neo Extreme di perbatasan San Jose dan Cartago, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Colombia yang akan memakan waktu yang panjang. Total jarak yang akan kami tempuh lebih dari 1000 kilometer, dan aku yakin akan menghabiskan waktu berhari-hari. Bahkan, maps tidak bisa menemukan rute jalannya. Jadi, kami hanya mengandalkan atlas Amerika.
Saat ini, kami sudah berjalan selama semalaman. Kami pun memutuskan untuk beristirahat sejenak di David, Panama. Kami bermaksud untuk beristirahat di sebuah penginapan. Terdapat sebuah hotel kecil, di mana satu kamar kecil terdapat tiga kasur. Harganya cukup murah. Jadi, kami memutuskan untuk beristirahat di sana untuk pagi ini, lalu kami akan melanjutkan perjalanan kembali sebelum matahari terbenam.
"Tidur, Nya," titah Kak Arkan.
Aku mengangguk, tapi aku tidak bisa melakukannya. Kak Raffa sudah tertidur sejak lima menit kami masuk ke kamar ini. "Maaf, ya, Kak Arka. Aku nggak bisa menyelamatkan Tony dan Laura."
Kak Arka baru keluar dari kamar mandi, lalu bergerak menghampiriku yang sedang duduk di tepi kasur bawah. Ia membelai kepalaku. "Nggak perlu minta maaf. Bukan salahmu, bukan salah siapa-siapa," ungkapnya. "Tidur. Kamu demam."
Ah, pantas aku merasa lemas. Sepertinya karena aku menggunakan kekuatanku lebih sering, padahal seharusnya aku belum boleh menggunakannya. Tenggorokanku pasti meradang lagi. Saat demam, biasanya asmaku akan memburuk.
Sayangnya, meski aku mencoba tidur dengan memejamkan mata, aku tetap tidak bisa tidur. Pada akhirnya, aku hanya bisa melamun menatap bagian bawah kasur di atasku, kasur Kak Arka. Tapi, penghuni kasir itu masih berkutat di mini bar. Ia merebus sebuah air dengan alat pemanas kecil, lalu menyeduh teh dengan aroma yang unik.
Kalau aku membangkitkan Tony dan Laura, apakah rasa bersalahku akan menghilang? Atau, apakah itu malah membuatku semakin merasa bersalah? Secara tak langsung, saat itu Tony sebenarnya akan menyerahkan hidupnya sampai Laura pergi. Kini, mereka telah pergi bersama-sama. Tapi, kenapa aku masih merasakan rasa bersalah yang sangat besar?
"Uhuk! Uhuk!" Aku memiringkan sedikit tubuhku, berharap sesak itu sedikit berkurang, meski tak banyak berpengaruh. "Uhuk! Uhuk! Hiiiik." Aku rasa, pikiran-pikiran ini dan kelelahan fisik telah membuatku mencapai batasku.
"Inhaler." Aku mengerjap saat mendapati Kak Raffa berjongkok di depan wajahku sambil menodongkan inhaler. Padahal, ia sedang tertidur, tapi ia jadi terbangun karenaku. "Nggak apa-apa. Kalau nafasmu udah membaik, aku tidur lagi, kok."
Ia dan Kak Arka membantuku untuk duduk agar dapat menggunakan inhaler dengan baik. Setelah dua hisapan, mereka kembali membaringkanku.
"Ka, gue ke apotek sekitar. Anya butuh obat minum juga kalau kayak gini, sekalian buat penurun demamnya. Gue yakin, tenggorokannya meradang juga," ujar Kak Raffa sambil bergerak menuju tas kecilnya. Ia membawa tas tersebut bersamanya. "Lo temenin Anya."
"Lo bakal baik-baik aja, Kak?" tanya Kak Arka.
Kak Raffa mengangguk. "Gue, 'kan, bukan Manusia Super. Lagian, apotek juga nggak jauh, kok. Kalau ada apa-apa, hape standby." Ia sempat menatapku dan tersenyum. "Nggak usah khawatir. Oke?"
Aku menganggukkan kepala, meski sebenarnya bohong jika aku tidak mengkhawatirkannya. Meski ia bukan Manusia Super, tapi aku yakin setidaknya Neo Extreme telah memberitahukan orang suruhan mereka untuk memantau Kak Raffa dan teman-temanku. Kalau sesuatu samlai terjadi pada Kak Raffa, mungkin aku akan benar-benar menghidupkannya kembali, apapun taruhannya.
"Apa yang lo pikirin, sih?" tanya Kak Arka agak ketus. "Soal Tony, jelas gue sedih. Tapi, itu bukan salah lo, dan nggak seharusnya lo punya perasaan kayak gitu. Ngerti?" tegasnya.
Aku menghela nafasku agak berat. "Kalau bisa nggak mengorbankan siapapun, aku lebih memilih hal itu."
"Semua perlu pengorbanan, Anya," tanggapnya. Ia pun duduk di tepi kasur, lalu menatapku serius. "Dari awal Tony mau membantu, dia pasti udah tahu bakal ada kejadian yang membahayakannya dan Laura. Dan, karena dia tahu itulah, dia ngajak kita ke rumahnya dan juga bertemu dengan Laura. Itu karena dia udah siap, begitu juga dengan Laura. Sekarang, mereka udah pergi bersama-sama, nggak perlu ada salah satu yang menangisi kepergian satunya," tuturnya.
Dalam pikiranku, ucapan Kak Arka memang benar dan aku setuju. Tapi, tetap saja, hatiku tidak bisa tenang. "Kalau aku lebih kuat, kalau aku bisa melihat masa depan, dan kalau aku bisa mendapatkan obat itu tanpa mengorbankan orang sebaik Tony dan Laura, itu pasti lebih baik. Seharusnya, aku ditangkap Neo Extreme aja dan rebut semua informasi mereka." Aku marah, marah pada diri sendiri.
"Nggak, kamu salah." Ia menatapku dingin, tapi keningnya berkerut cemas. "Kalau kamu ditangkap, kamu mungkin nggak akan bisa mendapatkan apa-apa. Mereka besar, kuat, dan mereka berbahaya. Kalau sampai kamu ditangkap, aku akan menerjang masuk untuk menyelamatkanmu meski harus mengorbankan nyawaku."
Aku terbelalak, lantas menggeleng dengan heboh.
"Makanya, jangan berpikir kayak gitu," tegasnya. Ia menaruh tangannya di keningku. Tangannya terasa sangat sejuk dan nyaman. "Kalau lagi sakit, otak lo jadi nggak bisa dipakai mikir. Jadi, mendingan lo tidur sampai Kak Raffa balik."
Sepertinya ia benar. Aku jadi tidak bisa berpikir dengan jernih karena kepalaku terlalu sakit, jantungku jadi berdebar-debar cepat, dan hal itu membuatku panik dan overthinking.
"Maaf."
Kak Arka mengangguk. "Ya, gue ngerti. Gue juga ngerasa bersalah atas kematian Tony dan Laura, kayak lo. Tapi, kita harus terus melanjutkan tujuan kita, Anya. Ini demi pengorbanan mereka juga." Ia pun tersenyum.
Aku mengangguk. Ia benar.
Gila yak?
Sebulan lebih aku nggak update wkwk
Maaf yaaa
Aku bener-bener buntu sih sebenernya
Tapi, setelah aku baca dari awal, aku kayaknya tahu harus gimanaNah, ngumpulin niat buat nulis nih yang agak sulit wkwk
But, I'll try my best
Bakal aku usahain buat update sesering mungkin dan menyelesaikannyaSoalnya, ada satu buku lagi yang mau aku buat, tentang Si Zero ehehehe
And guys, thanks for staying with me
Thanks for your support
See ya next chapterLove you all 🧡
Stay safe
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent: The Cursed Voice [HIATUS]
Science-FictionWaktu itu umurku masih 3 tahun saat Perang Dunia III terjadi. Papa dan Mama meninggal dalam insiden itu, tepat di depan mataku dan Kak Rafa. Dan, pada insiden itu, aku hampir kehilangan kepalaku. Sebuah tebasan menggorok leherku, memutus pita suara...