Suara alat pendeteksi jantung menjuru ke seluruh ruangan. Sungmi bisa mendengar kakak dan teman-temannya menangis. Ia berusaha membuka matanya tapi tidak bisa. Menggerakkan tangannya saja susah. Apa ia pingsan lagi? Namun, kenapa sampai ia bisa mendengar suara pendeteksi detak jantung? Apakah separah itu hingga ia harus masuk rumah sakit kembali? Aneh, tapi tidak seperti biasanya, ia bisa mendengar perbincangan di sekitar. Beberapa detik kemudian, mimpi panjang itu datang, mengalihkan perhatian Sungmi pada sekitarnya.
~~~
POV Kim Sungmi
Aku melangkah menuju kelas. Namun, aku mendengar ada suara ribut-ribut di toilet. Aku membuka pintu toilet, lalu menegang. Terdapat sekumpulan tiga gadis yang sedang menyirami seorang gadis yang berdiri di depan wastafel. Mereka tertawa melihat gadis di depan wastafel itu yang bergetar hebat dan menunduk.
Tunggu, bukannya orang itu gadis pindahan dari Indonesia yang masuk ke kelasku? Aku menyender di tembok dekat pintu, menyilangkan kakiku, lalu menggaruk kepalaku yang tak gatal. "Geumanhaera (berhenti, lah)."
"Geumanhaera?" sahut salah satu dari gadis-gadis itu, Lee Minjung, dengan nada melengking. "YA! Maknae! Mal jedero haera. Eonnihante... Ani, seonbaehante beoreut eobsi (Heh! Anak bontot! Bicara yang benar. Terhadap kakak... Bukan, tidak sopannya kau pada senior)."
Gadis-gadis lain terkikik lalu menyahut "Yah (heh), cepat panggil seonbae (senior)."
Aku memutarkan bola mataku. Dasar anak sok populer. Hanya berani bila beramai-ramai. Entah kenapa, tapi aku tidak bisa diam saja melihat itu semua. Minjung sudah keterlaluan dalam menggunakan kepopulerannya untuk membenarkan semua tindakannya. Sejak kapan sekolah yang ku gandrungi jadi tempat ajang penindasan?
Melihat Minjung yang ingin memperlihatkan bahwa ia berkuasa di sekolah ini membuatku geram. Memantapkan hatiku, aku melipatkan tanganku. "Ppeonppeonhagineun, gateun bangiramyeonseo. (Sok banget, padahal sekelas). Sudahlah, apakah aku harus sampai memanggil guru?"
Minjung tertawa, diikuti kawanannya. "Apaan, sih?"
Aku memicing. Mungkin perkataanku terlalu enteng untuk mereka? Aku menegakkan tubuhku, lalu meraih ponselku seakan-akan mengetik. "Mengguyur seseorang di musim dingin? Terlihat seperti tindak kriminal bagiku, apa harusnya aku menelpon polisi?"
Tawa Minjung berhenti. Aku bisa melihat matanya memerah, memancarkan geram juga takut. Minjung menghampiriku dengan hentakkan kaki yang keras, kemudian meraih tanganku yang menggenggam ponsel dan menariknya dengan kasar.
Aku mencoba melepas genggamannya, namun genggaman Minjung menguat, membuatku gagal melepaskan tanganku. Minjung menarikku, lalu mendekatkan wajahnya ke kupingku, kemudian berbisik. "Kau... salah berurusan denganku, maknae. Kau tahu apa akibatnya, bukan?"
Aku menguatkan tenagaku kemudian menepis genggaman Minjung. Aku menatapnya tajam, kemudian tersenyum sinis berharap ia tahu, aku menyepelekan gertakkannya. "Moreugetneunde. Kaja (tidak tahu, tuh. Ayo)."
Aku menarik tangan gadis yang di bully tadi. Kaget dengan responku, Minjung membeku. Keluar dari toilet, aku mendenger teriakan Minjung. "YAH! MEMANGNYA KAU SIAPA SOK BERANI SEPERTI ITU? LIHAT SAJA NANTI MAKNAE!"
Aku merasakan getaran di dalam genggamanku. Aku menoleh. "Gwaenchanha (tidak apa-apa)."
Gadis itu melepas genggaman tanganku, kemudian membungkuk padaku. "Kamsahamnida (Terima kasih). Terimakasih banyak."
Aku tersenyum, kemudian menjulurkan tanganku. "Aku Sungmi, Kim Sungmi."
Gadis itu malah memelukku. "Aku tahu, tahu banget. Makasih Sungmi, aku berhutang nyawa sama kamu. Seperti yang kamu tahu, aku pindahan Jakarta. Panggil aja aku Atta."
KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)Lucky Enamor
FantasyTentang bagaimana sang rembulan yang sinarnya kian saat meredup dan sang mentari yang membantu sang rembulan kembali bersinar. Yang tanpa disadari, berjalannya waktu sinar mentari meredam. Sebuah takdir yang tidak dapat dihindari. Murid SMA pindahan...