"Andwae... Minjung-ah..."
Orang itu sepertinya mendengar suaraku. Ia menoleh ke Minjung, namun Minjung terlanjur memukul leher orang itu dengan stick golfnya. Orang itu terhuyung jatuh. Saat terjatuh, kepala orang itu terbentur trotoar dan mengalirkan banyak darah. Aku menoleh ke Minjung, ia pun sepertinya kaget dengan apa yang ia lakukan. "I-ini semua... Sa-salahmu! Kenapa... Kau malah... Mengatakan... Akh!"
Minjung berbalik dan kembali menaiki mobilnya. Tangan yang memegang stick golf itu bergetar. Mobil beserta Minjung pergi berlalu. Aku mencoba memastikan kondisi orang yang mengorbankan dirinya sendiri demi menolongku. Aku kembali berusaha sekuat tenaga untuk mengeluarkan suaraku. "Gwaen... chanheu...seyo (apakah... kau... tidak apa-apa)?"
Orang itu berusaha keras mengangkat tubuhnya. Berhasil, ia duduk dan mengamatiku. Sambil memegang kepalanya yang berdarah, ia tersenyum sinis. "Kenapa gua nolongin orang kalau malah gua sendiri yang kena?"
"Jeo... Jwesong... hamnida (saya... minta... maaf)..."
Orang itu mengerucutkan dahinya. "Lah, dia ngerti gua ngomong apa?"
"Um... Jeogi (situ)... Darah mengalir terus dari dahimu, apa kau masih kuat? Jamkanman, 119 bureulkeyo (sebentar, saya akan menelfon 119)."
Denyut sakit sudah ku rasakan sedari tadi. Rasanya seperti butuh banyak sekali tenaga untuk mengeluarkan sepatah kalimat. Menarik nafas panjang pun terasa sangat menyiksa. namun... "Pikirkan saja dirimu sendiri."
"Yeoboseyo (halo)?... Ya, disini ada orang tergeletak karena tabrak lari... Di jalan dekat sekolah Sorin... Cepat ya, pak, karena orang ini mengeluarkan banyak darah... Ya... Baik, lah, terima kasih."
Tak terasa aku mengembangkan senyum, walaupun tipis. Orang itu menoleh. Ia menghela nafas keras melihatku. "Di kondisi seperti ini kau tersenyum? Geureogo boni wae banmariya oppa hante (kalau di lihat-lihat kenapa kau menggunakan bahasa informal pada kakak)."
Kepalaku sangat pusing. Sepertinya dunia berputar. Atau hanya orang di hadapanku yang berputar? Aku memejamkan mata. Sakit...
"Yah, anak kecil, namamu siapa?"
"Bicara apa kau, siapa anak kecil... Kim Sungmi..." jawabku melemah. Aku tetap memejamkan mata. Kini rasanya aku ingin muntah karena terus memaksakan diri untuk berbicara. Tahan Sungmi, tahan...
"Tetap saja kau pasti lebih muda. Nama oppa Rendy Pradipa, panggil saja Ren. Jalgieokhae (ingat, ya)."
Ren... Ternyata nama orang baik itu Ren. Ren mencengkram bahuku. "Kau harus sembuh, lalu bayar utang budimu pada oppa. Oke? Jukjimara (jangan mati)."
Aku menarik kata-kataku. Dia tidak baik. Aku kira Ren orang baik yang menolong tanpa meminta imbalan. Walaupun pikiranku mendumel, namun hatiku berkata lain. Setidaknya lelaki itu terus mengajakku berbicara untuk menyemangatiku. Suara ambulan semakin lama semakin keras. Entah merasa sudah tenang atau bagaimana, semuanya menjadi gelap.
Sungmi terkesiap dan membuka mata. Tak sadar, ia sudah duduk dari posisi tidurnya. Sungmi mencengkram kepalanya yang perlahan-lahan tambah berat. Bukan hanya sakit, tapi juga sontak bangun dari tidurnya membuat kepalanya terasa berputar-putar. Ia memejamkan matanya sesaat, kemudian membukanya. Ia... Benar-benar pernah bertemu Ren? Bukankah setelah ditabrak ia pingsan dan bangun setelah beberapa hari koma? Tapi kenapa ingatan itu ada? Apa itu hanya mimpi? Namun semua itu terlalu jelas bila hanya mimpi.
Apa ini memori yang ia hapus? Jadi ia benar-benar lupa ingatan?
Otak Sungmi terasa tersuntik saat ia mencoba mengingat kejadian apa lagi yang ia lupakan. Ia memaksakan diri untuk mengingat, tapi ketakutan mengalahkan niatannya. Takut, apakah kejadian itu sangatlah mengerikan hingga ia menghapus ingatannya sendiri... Takut, karena tabrakan itu sangatlah pedih dan membuat kehidupannya berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)Lucky Enamor
FantasyTentang bagaimana sang rembulan yang sinarnya kian saat meredup dan sang mentari yang membantu sang rembulan kembali bersinar. Yang tanpa disadari, berjalannya waktu sinar mentari meredam. Sebuah takdir yang tidak dapat dihindari. Murid SMA pindahan...