Ren dan Sungmi menatap pandangan kota Jakarta dari atas gedung bertingkat dua. Ren duduk, diikuti Sungmi yang dengan ragu duduk di sebelah Ren.
"Kamu engga apa-apa ikut aku ke sini?"
"A-atap se-kolah... Aku kan pernah..."
"Makanya." Potong Ren, lalu menghela nafas. Ia memandang sekitar. "Tapi di sini gua bisa lebih santai. Gua seperti bisa melepas penat dari padatnya kota dibawah itu."
Sungmi menoleh. Cahaya matahari yang melukiskan bayangan pada wajah Ren membuat Ren terlihat lebih menawan. Sadar akan pikirannya, ia bisa mendengar sendiri detak jantungnya saking kerasnya. Ia mengalihkan pandangannya dari Ren. Tenang Sungmi, tenang... "Mal cham manhda (kau terlalu banyak berbicara)."
Jawaban Sungmi yang singkat membuat Ren tertawa. Ia menoleh, lalu tersenyum. Ia rindu dengan sikap dingin Sungmi padanya, saking seringnya ia melihat raut sakit dan ketakutan di wajah Sungmi. Malah ia lebih lega melihat Sungmi yang menjawabnya singkat dan dingin seperti itu. Walaupun tidak sedingin beberapa hari yang lalu, saat Sungmi marah padanya. Ren berdeham. "Iya, ya. Udah lama gua engga cerewetin lu."
Sungmi menghela nafas panjang. Ia menoleh pada Ren. "Kenapa waktu itu lo nolongin gue?"
Ren menoleh pada Sungmi, lalu mengangkat kedua alisnya. "Bukannya gua udah bilang gua engga mau kehilangan elu?"
Sungmi menaikkan sudut bibirnya. "Bukannya itu buat ngebujuk gue turun?"
"Orang beneran." gumam Ren membuat jantung Sungmi yang sudah berdetak kencang, tambah kencang. Sungmi mengalihkan pandangannya. Ia tidak akan kena penyakit, kan, bila jangtungnya selalu tidak stabil seperti ini? Ia menggigit bibirnya. "W-wae nal mireobutyeotji (kenapa kau mendorongku untuk menjauh)? Tidak bisa kah kita tetap seperti ini?"
Ren menoleh. Ia bisa melihat ekspresi kaget terpancar di wajah Ren. Ia berdeham. "Kejadian apa, sih, yang bakal menyakitiku? Sepertinya tidak sebanding dengan saat kau bersikap dingin padaku waktu itu..."
Tatapan Ren yang tidak beralih darinya membuat Sungmi tak bisa melanjutkan pertanyaannya. Ia berdeham. Sadar Sungmi, pikirnya. Sungmi menggaruk tenguknya yang tak gatal. "Naega mirae bolsu itdaneun sasil, neorang eonni bakke moreujanha (hanya kau dan kakakku yang tahu bahwa aku dapat melihat masa depan). Walaupun kau tahu itu, kau tak menganggapku aneh, bahkan tak membenciku. Sepertinya itu hal yang akan paling menyakitiku, tidak diterima atau bahkan dipandang monster."
Sungmi mengerjapkan mata. Melihat Ren yang terus mengunci mulutnya membuat Sungmi membuang wajahnya. "Itu menurutku, tak usah di pikirkan."
Walaupun tak secara langsung, namun Sungmi tahu dan sadar bahwa ia menyatakan perasaannya. Bahwa hal yang paling menyakitkan adalah dianggap berbeda, dan Ren sama sekali tidak menganggapnya berbeda. Dan ia, menyukai itu, dan berharap Ren untuk selalu di sampingnya tanpa mendorongnya untuk menjauh. Namun bila ia menginginkan itu, ia tahu ketakutan Ren, bahwa yang ia harapkan akan memancing ingatannya untuk muncul hingga ia mengingat kejadian buruk yang Ren bicarakan dengan Sungyeon.
Kendatipun demikian, ia juga tidak bisa memaksakan Ren bila memang keputusan Ren ingin menjauhi dirinya, bisa saja kejadian itu tidak hanya menyakitkan untuk Sungmi, bahkan juga untuk Ren. Seribu kemungkinan, pun, terfikirkan oleh Sungmi.
"Da deureotne (ternyata kau mendengar semuanya)." sahut Ren memecah keheningan.
Sungmi refleks menoleh. Apakah Ren akan menjawab pertanyaannya? Ren mengalihkan kembali pandangannya ke bawah gedung setelah memandangi Sungmi selama itu. "Aku... Hanya benci melihatmu tersiksa, menangis."

KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)Lucky Enamor
FantasyTentang bagaimana sang rembulan yang sinarnya kian saat meredup dan sang mentari yang membantu sang rembulan kembali bersinar. Yang tanpa disadari, berjalannya waktu sinar mentari meredam. Sebuah takdir yang tidak dapat dihindari. Murid SMA pindahan...