Chapter 9 : Quotidian

18 1 0
                                    

Sesampainya di kantin, Ren tak melepas genggaman tangannya pada Sungmi. Ia melambaikan tangan pada gerombolan di meja kantin dekat penjual mie tektek. Sungmi mengikuti arah lambaian Ren. Ia mendapati Cecil, Atta, dan Reza duduk mengitari meja persegi panjang di kantin. Ia mengamati sekitar. Kantin terasa lebih ramai dari biasanya. Tak kuat dengan pandangan orang-orang, Sungmi menunduk, mengikuti langkah Ren ke meja tersebut.

Sungmi bisa mendengar orang-orang berbisik. Orang yang dekat dengan Ren bisa dibilang artis juga, kelompok yang berada di atas awan. Kehadiran Sungmi mungkin adalah hal yang aneh, berhubung ini adalah kali pertama Sungmi makan siang bersama Ren.

"Orang asing emang gampang deket sama artis, ya."

"Itu si Sungmi adiknya Kimmie?"

"Artis bergaulnya sama artis, ya."

Dan masih banyak lagi. Sungmi memejamkan matanya, berharap tak mendengar bisikkan orang-orang di sekitarnya. Tiba-tiba, tangannya terasa lebih hangat. Sungmi menoleh, menatap tangannya yang digenggam makin keras oleh Ren, seperti sengaja untuk menguatkan dirinya. 

Ia kembali mendongak, memandangi bahu Ren yang membelakanginya. Entah kenapa, genggaman hangat ini membuatnya tak takut, suara bisikkan orang-orang di sekitarnya pun perlahan-lahan meluap, digantikan oleh suara detakkan jantungnya yang kini terdengar lebih keras.

Tak terasa, ia sudah sampai di meja kantin. Ren melepas genggaman tangannya pada Sungmi. Melihat kursi di sebelah kanan Atta kosong –Reza duduk di sebelah kiri Atta, Sungmi memilih duduk di sebelah Atta. Ren menepuk pundak Sungmi. "Mau mie tektek? Sekalian gua pesenin."

Sungmi mendongak, menatap mata Ren lalu mengangguk, menandakan iya. Ren kembali bertanya. "Pedes engga?"

"Boleh pedes." jawab Sungmi mengalihkan pandangannya ke hadapan teman-temannya.

"Bukannya kamu ga kuat pedes? Aku pesenin yang sedeng aja, ya."

Perkataan Ren membuat semua orang refleks menoleh pada Ren. Sungmi pun ikut menoleh. Namun Ren sudah berlalu untuk membeli mie tektek. Atta menoleh pada Sungmi lalu bertanya dengan antusias. "Niga meokneungeo mot meokneungeo eotteohke arasseo (bagaimana dia tahu apa yang kau bisa dan tidak bisa makan)?"

Tak menjawab, Atta mengamati Sungmi dari atas sampai bawah, kemudian mendapati sesuatu. "Kenapa kau juga turun bersama Ren?"

"Indonesia, please." sahut Cecil dengan nada sarkas.

Sungmi tetap bungkam, tak menjawab satu pun pertanyaan Atta. Ia bingung harus menjawab apa. Baru saja tadi terasa jelas bahwa ia memang pernah bertemu Ren. Lagipula nampaknya Atta tidak tahu bahwa dirinya pernah bertemu dengan Ren di Korea, dilihat dari reaksinya sekarang. 

Sungmi menoleh pada Ren yang masih memesan. Ia jadi penasaran. Mungkin di ingatan yang ia lupakan, Ren mengetahui selera makanannya. Sesering itukah ia bertemu dengan Ren? Mungkin, Ren sampai pernah mengunjungi rumahnya. Satu per satu pertanyaan muncul di kepala Sungmi mengenai dirinya dengan Ren, walaupun ia sendiri tak mengizinkan untuk mengeluarkan semua pertanyaan itu.

"Sorry, Cil. Kebiasaan." jawab Atta, membuyarkan Sungmi yang menerawang. Sungmi berdeham, kemudian mempertegak duduknya dan mengalihkan pandangannya dari Ren.

"Engga apa-apa kali, yang." sahut Reza dengan nada yang manis, membuatnya kena pukul remasan kertas oleh Cecil.

"Kalau mau pacaran gausah makan bareng disini, apa." gerutu Cecil menatap Atta dan Reza geli.

"Makanya cari cowok. Mau gua jodohin apa?" ledek Reza yang tertawa sinis.

"Mulai deh." gumam Atta menggelengkan kepalanya.

(Un)Lucky EnamorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang