HAPPY READING!
•••
Bihan berbaring sambil menatap langit kamarnya. Setelah bertemu dengan Ares di rumah Celine, pikirannya semakin tidak tenang. Entah apa yang ada di dalam pikiran pria itu, selalu membuat hatinya merasa gelisah. Apalagi mengetahui fakta jika ternyata Ares lebih dulu mengenal Celine.
“Sebenarnya apa yang gue rasakan untuk Celine? Kenapa rasanya ada yang mengganjal? Argh! Sial! Gue kepikiran terus! Lo kenapa sih, Bi!” ceracaunya sendiri dengan kesal mengacak-ngacak rambut frustrasi.
Ia pun bangkit dari pembaringan, menuju kamar mandi dan membasuh muka di wastafel. Jemarinya dengan erat memegangi pinggiran wastafel, memandangi wajahnya yang basah di pantulan cermin. Terpejam sejenak sambil sesekali mendongak.
Entah mengapa saat kembali menatap cermin, bayangan Celine seakan muncul. Wanita itu seakan tersenyum kepadanya. Namun, setelah Bihan mengusap wajahnya kembali bayangan itu hilang. Dan kejadian di dalam mobil saat itu pun kembali terbayang.
“Tenang, Bi, tenang. Celine sahabat lo, lo enggak bisa kayak gini.” Bihan berusaha menenangkan pikirannya. Kembali ia memutar keran dan membasuh muka.
“Ah, sial!” desisnya.
Sepertinya Bihan menyadari sesuatu yang bersarang di dalam hatinya saat ini. Haruskah?
***
Sementara di rumah Celine, wanita itu duduk berdua dengan Ares di teras rumah sambil ditemani teh hangat. Sedangkan Rosa sedang asyik mengobrol di dalam bersama Friska. Celine dapat melihat kedekatan keduanya. Ia bahkan tak menyangka kalau dirinya dan Ares adalah teman masa kecil. Celine tak begitu ingat kejadian lama itu, hanya samar-samar kepingan kenangan itu terlintas.
“Jadi lo sama sekali enggak ingat gue?” tanya Ares di sela obrolan mereka.
Celine menggeleng, “Enggak, tapi bukan lupa sepenuhnya juga,” jawabnya.
“Iya, sih. Gue juga gitu, inget lo aja masih samar-samar. Namanya juga udah lama kali, ya,” balas Ares.
Kembali hening sejenak, keduanya sama-sama mengembuskan napas.
“Cel, jadi gimana? Apa lo punya perasaan yang sama dengan gue?” tanya Ares lagi.
Celine seketika membeku mendengar pertanyaan itu. Haruskah secepat ini ia memberi jawaban? Namun, apakah hatinya sudah siap? Mengapa rasanya begitu berat.
“Gue tau ini terlalu cepat, tapi jujur, Cel. Pertama kali gue kenal lo emang nyebelin. Tapi, saat gue lihat lo senyum tuh, rasanya hati gue adem, Cel. Lama-lama pikiran gue juga adem saat ingat sama lo. Gue yakin kalau perasaan gue enggak salah buat lo,” jelas Ares.
Celine bergeming, ia tak tahu harus merespons seperti apa. Celine pun membiarkan Ares mengungkapkan apa yang ingin pria itu katakan. Untuk saat ini Celine memilih mendengarkannya dahulu.
“Tapi, kalau emang lo enggak punya perasaan apa-apa sama gue juga enggak masalah. Yang penting lo tetap harus kasih gue jawaban.”
Celine masih setia bergeming, ia menatap bola mata hitam milik Ares. Bahkan memperhatikan setiap sudut wajah tampan yang tanpa celah itu, mencari sesuatu yang mungkin bisa menjawab apa yang ia pikirkan. Pria yang ada di hadapannya saat ini memang baru saja ia kenal. Namun, dari matanya, Celine dapat melihat ketulusan Ares. Akan tetapi, rasanya begitu berat menerima ketulusan pria tersebut, karena hatinya sampai saat ini masih ada Bihan yang terpatri dengan kokoh di sana. Apakah sebaiknya ia jangan terlalu memaksakan keadaan?
Celine sempat berpikir jika dia menerima Ares, mungkin saja perasaannya untuk Bihan perlahan memudar. Mengingat pria itu dirasa juga tak punya perasaan yang sama dengan Celine. Namun, mengapa rasanya Celine tak ingin perasaan itu hilang. Ares dan Bihan sama-sama pria yang baik dan tulus, itu yang Celine rasakan. Akan tetapi, kedua pria itu juga memiliki perbedaan yang kentara.
Susah payah Celine menelan ludahnya membasahi tenggorokan. Angin malam berembus menerpa wajah, tatapan Ares begitu teduh mengimbangi suasana dinginnya malam.
“Apa ada orang yang lo suka, ya?” tanya Ares lagi.
Celine tertawa sinis. Tebakan Ares memang tepat sasaran. Namun, yang menjadi masalah bagi Celine adalah pria yang ia sukai juga menyukainya atau tidak, ia tak tahu. Selama ini hanya pikiran-pikiran berlebihannya saja yang selalu menguatkan opininya.
“Sok tau.” Celine berkilah sambil melempar pandangannya ke sembarang arah.
“Tapi, Cel ... sebelum janur kuning melengkung, lo masih bisa jadi milik siapa aja.” Ares tersenyum sambil menaik-turunkan alisnya.
“Apaan, sih!” Celine menggeleng menahan senyum, tak habis pikir dengan ucapan Ares.
“Res ...,” panggil Celine dengan suara pelan dan lembut.
“Hem?”
“Sori, gue enggak bisa balas perasaan lo. Di hati gue sudah ada seseorang yang gue suka,” ucap Celine hati-hati.
Belum ada respons dari Ares, Celine melanjutkan kembali ucapannya. “Perasaan gue juga enggak terbalas, gue bahkan juga mau ngelupain itu. Tapi enggak bisa, hati gue terlalu kokoh untuk orang itu. Im sorry, Res,” lanjut Celine.
Ares tertawa pelan sambil membuang pandangannya ke lain arah. Ia menghirup udara sebanyak mungkin dan mengembuskannya begitu saja. Kembali menatap Celine dengan senyuman yang seakan tak ada beban.
“Apa orang itu Bihan?” Ares mencoba untuk menebak.
Semakin cekat rasanya tenggorokan Celine. Perlahan ia membasahi bibir, Celine tak menjawab, ia memilih menundukkan pandangannya kemudian berpaling menatap ke sembarang arah.
Ares yang memahami gerak-gerik Celine pun tersenyum. Merasa tebakannya memang benar, karena sejak awal ia sudah melihat kedekatan antara Bihan dan Celine memang begitu spesial. Hanya saja ikatan persahabatan keduanya yang seakan menjadi tembok pembatas. Namun, di saat yang bersamaan pula hatinya juga jatuh kepada Celine.
“Oke, gue paham. Kalau memang di hati lo enggak ada celah sedikit pun untuk orang lain, enggak apa. Karena perasaan itu memang enggak bisa dipaksakan, tapi perlu usaha untuk diyakinkan.”
Ucapan Ares membuat hati Celine tersentil. Ada rasa tak tega, tetapi inilah hatinya. Meski sempat merasakan nyaman dengan perlakuan manis dari seorang Ares, nyatanya tak menghilangkan perasaannya pada Bihan meski terasa begitu pedas. Pedas yang mewakili perasaan tak terbalaskannya, seakan terbakar tapi tak ada apinya.
***
Keesokan harinya Celine melakukan pekerjaan seperti biasa. Sejak pembicaraannya semalam dengan Ares, hatinya sedikit merasa lega. Setidaknya ia tidak memberikan harapan palsu pada seseorang. Jujur itu terkadang memang menyakitkan untuk di dengar, tetapi kalau terus berbohong, bukankah itu akan lebih menyakiti diri sendiri.
Ya, Celine tak ingin hanya demi egonya ia melampiaskan semuanya kepada pria seperti Ares. Ares menyukainya dengan tulus, apa pantas ia membalas dengan kebohongan. Hatinya hanya untuk Bihan, entah sampai kapan perasaan itu tersimpan, yang pasti hal itu punya rasa manis tersendiri bagi Celine.
“Cel, lagi sibuk?”
Panggilan Bihan sedikit membuat Celine terkejut. Pria itu berdiri di ambang pintu sambil bersandar.
“Kenapa enggak nyuruh gue ke ruangan aja?”
“Enggak apa, gue mau ke sini langsung.”
Bihan pun masuk ke ruangan Celine. Pria itu duduk di hadapannya. Celine menutup beberapa berkas dan memfokuskan tatapannya pada Bihan.
“Emangnya ada apa? Gue enggak sibuk, sih. Cuma habis ini gue mau ingetin lo kalau ada rapat sama dewan direksi bagian marketing jam sepuluh nanti,” ucap Celine.
Bihan mangut-mangut paham. Celine selalu profesional dalam mengerjakan tugasnya, itulah yang membuat Bihan suka dengan kinerja wanita tersebut. Tak pernah lupa dengan jadwalnya, selalu setia mendampinginya ke mana pun, bahkan bisa diandalkan dalam keadaan genting sekalipun.
“Enggak ada apa-apa, sih. Gue cuma pengin ngobrol aja sama lo.”
Kening Celine mengerut, lagu dan lagi ia mendapati Bihan bertingkah aneh.
“Mau ngobrolin apa? Enggak biasanya lo kayak gini sama gue.”
Bihan tersenyum, menopang dagu di atas meja dengan kedua tangannya. Menatap wajah Celine yang ada di hadapannya sambil memikirkan apa yang semalam ada di dalam pikiran pria itu.
“Gimana hubungan lo sama Ares?” tanya Bihan tiba-tiba.
Celine sempat terkejut, tetapi kemudian ia tersenyum agar terlihat biasa saja.
“Ya enggak gimana-gimana. Gue sama dia cuma temen. Enggak lebih,” jawab Celine.
“Jadi lo enggak nerima cinta dia?”
Bihan kenapa, sih, lagi-lagi kayak gini, batin Celine. Ia ersenyum, menyandarkan tubuhnya di kursi.
“Gue enggak bisa maksa perasaan gue buat suka juga sama dia. Lo bener, soal perasaan itu beda sama makanan yang bisa dicoba-coba. Gue enggak mau nyoba, karena gue enggak mau nyakitin hati orang yang tulus.”
Bihan mengangguk paham, tanpa Celine tahu bahwa di dalam hatinya sedang tersenyum. Entah mengapa Bihan merasa senang Celine tak membalas perasaan Ares.
“Kenapa? Ada yang salah?” Kini Celine yang bertanya, ia penasaran dengan apa yang Bihan pikirkan setelah mendengar jawabannya.
“Enggak ada, kok,” jawab Bihan santai.
Hati Celine kembali mencelus begitu saja. Bahkan sudah sampai seperti ini ia masih melihat sikap Bihan yang terlihat biasa-biasa saja. Sebenarnya apa, sih, maunya nih orang, heran, deh! Batin Celine sedikit kesal.•••
SEE YOU NEXT CHAPTER!
THANK YOU!
•••
ANFIGHT DAY 14
BALIKPAPAN, 17 APRIL 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Chili's Heart ✔
Romansa"Lo itu sama kayak cabe. Pedes, tapi bikin nagih." -Celine Camelia Agatha. Siapa yang bisa menebak hati seseorang? Kata Celine, makan tanpa cabai itu ibarat masakan tanpa garam dan penyedap. Sama seperti hidupnya jika tanpa Bihan. Terkadang ucapan p...