"Arka,"
Kedua mata Arka langsung teralih ke Qia, alisnya terangkat seolah-olah bertanya 'ada apa'.
Qia diam, membuat Arka yang tadinya berkutat membuat sarapan mereka meminta tolong kepada Bi Inah untuk melanjutkan acara memasaknya.
Kedua kaki Arka melangkah ke Qia, mumpung hari masih pagi dan kedua anak laknatnya itu masih tidur.
Arka duduk disamping Qia, tangannya mengusap rambut panjang Qia dengan penuh sayang, "Kenapa?" tanyanya.
Tiba-tiba saja kepala Qia terbenam di dada milik Arka, Qia memeluk Arka erat. Tak lama, suara isakan timbul dari mulut Qia, Arka langsung cemas namun ia hanya bisa mengusap-usap punggung Qia agar lebih tenang.
Biarkan Qia menumpahkan air matanya sekarang, setelah itu Arka akan berjanji tidak akan membuat Qia menangis lagi di dalam hidupnya. Ia akan berusaha agar istrinya itu selalu tersenyum.
Sepuluh menit kemudian, Qia melonggarkan pelukannya, ia mengusap kedua matanya bekas air mata.
"Kenapa?" tanya Arka sembari menatap Qia lekat.
Qia menggeleng pelan, ia menunduk, "Gapapa," jawabnya.
Arka tersenyum tipis, "Qi, kita emang udah nikah. Tapi gak ada salahnya dong, disaat seperti ini kita kembali menjadi sahabat, makanya kita bisa saling curhat lagi tanpa melihat status pernikahan atau perasaan," nasehat Arka.
Kepala Qia mendongak untuk menatap Arka, "Aku capek, hiks," isaknya kembali.
Memang, di dunia ini tidak akan ada yang tau secapek apa diri kita, serapuh apa hati kita, dan sehancur apa otak kita. Yang mengerti hanyalah diri sendiri, bukan orang lain.
Tangan Arka terus mengusap punggung Qia, beberapa minggu ini ia memang sibuk dengan dunia kedokterannya, yang mengharuskan kadang ia menginap di rumah sakit, dan pulang larut malam, ralat lebih tepatnya para esuk, sekitar jam setengah dua pagi.
Dan sekitar dua minggu ini, Arka sering melihat Qia tertidur di meja belajar dengan laptop menyala, kertas berserakan, membuatnya harus mengangkat tubuh Qia ke kasur dan membereskan kertas-kertas Qia.
Arka paham, bagaimana lelahnya Qia sekarang, belum lagi jika kedua anaknya rewel tengah malam, waktu sore, dan waktu Arka tidak ada di dalam rumah.
"Maaf,"
Seketika rasa bersalahnya muncul, mengingat Qia yang telah mengorbankan waktu dan tenaganya untuk pernikahan ini. Ia jadi tidak tega kepada Qia yang harus kuliah juga saat ini.
Toh, jika Qia tidak kuliah, tidak masalah bagi siapapun karena hartanya tidak akan habis sampai sembilan turunan sekalipun dan jangan lupakan bahwa Arka tidak akan meninggalkan Qia kapanpun.
Qia menggeleng pelan, inilah yang ia takutkan, Arka pasti akan merasa bersalah jika ia mengungkapkan rasa capeknya saat ini.
Bayangkan saja, tugas kuliah Qia sangat-sangat banyak. Belum selesai satu sudah ditambah satu atau dua lagi, bagaimana tidak menumpuk?
Bahkan sepasang suami istri ini jarang sekali menghabiskan waktunya berdua, lebih sibuk dengan dunianya masing-masing.
Arka menuntun Qia untuk kembali ke kamar, ia mendudukkan Qia di kasur, dan ia sendiri duduk disamping Qia.
"Hari ini sama besok kita ijin dulu ya, gak kuliah, aku juga gak bakal ke rumah sakit," ujar Arka.
"Tap-"
"Gak ada tapi-tapi an Qi, muka kamu udah kayak gini masih mau kuliah? Kita istirahat." tegas Arka, ia melihat bahwa kondisi Qia sangat tidak memungkinkan saat ini. Kantung mata yang begitu jelas, kedua mata juga sembab, hidung merah, dan bibir pucat. Kenapa ia baru menyadari sekarang? Rasa bersalahnya lagi-lagi muncul.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ar-Qi (AFTER MARRIED)
Teen FictionSEQUEL [MY FIANCE'S SECRET] Yang belum baca MFS silahkan baca duluu, supaya tau lika-liku kehidupan mereka saat SMA. ♡♡♡ Menikah muda bagi Arka dan Qia adalah hal yang menyenangkan, diawali dari persahabatan dari kecil, lalu dijodohkan, dan sekarang...