09. Kipas angin

20 14 2
                                    

Kalau ada typo langsung komen ya:)

Happy reading.
*
*
*

Matahari sudah naik, Mulky, Habib, dan Hafidz baru saja mencuci baju mereka bersama, tentu saja dengan sedikit bumbu-bumbu pertengkaran. Karena Mulky pertama kali merasakan bagaimana rasanya mencuci baju.

"Habis ini masuk kelas, jangan tidur Ky!" ujar Hafidz mengingatkan.

"Lah, ada kelas juga? Perasaan gue Cuma ikut pesantren kilat, bukan mau mondok beneran disini. Lagi pula gue ga betah lama-lama tinggal disini," ujar Mulky.

"Nanti pas udah keluar aku jamin, kamu bakal kangen sama Pesantren Darul Ulum ini," ujar Habib dan disambung anggukan kepala dari Hafidz.

"Enggak kelas kayak sekolah kok, ini tuh kelas ngaji aja," ujar Hafidz.

"Mager gue, ijinin gue ya,"

"Yee, kamu lupa kalau ini di Pesantren? Kalau mau ijin sakit ya harus sakit beneran, nanti juga bakal di datengin petugas UKS ke sini kan nggak lucu kalau ketahuan bohong."

Mulky memutar bola mata jengah, susah sekali berbohong di Pesantren. Jelas-jelas lebih enak di sekolah Swasta.

"Ya udah gue ngalah, gue ikut ke kelas." Pasrah Mulky.

***

Kini Mulky dan kedua temannya itu sudah berada didepan pintu kelas berwarna coklat, kaki mereka memasuki ruangan tersebut dengan kompak. Untung saja mereka mendaftar di kelas yang sama, kelas Al-Fajr.

Mulky langsung berjalan menuju bangku paling belakang, tempat kesukaannya. Sedangkan Habib dan Hafidz lebih memilih bangku di urutan baris kedua dari depan.

Semua santri hari ini kompak mengenakkan baju koko putih, sarung hitam polos dengan peci hitam khas santri.

"Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh," ujar Ustadz Rahman saat memasuki kelas Al-Fajr.

"Waalaikumussalam Warahmatullhi Wabarakatuh," jawab para antri kompak, dilanjutkan mereka membaca beberapa doa dan Asmaul Husna. Dan Ya, Mulky hanya diam, menenggelamkan wajahya ditumpuan tangan di atas meja.

Acara pembelajaran yang dipimpin Ustadz Rahman telah selesai, para Santri hanya menunggu datangnya Ustadz Abdul untuk menunggu pengumuman lebih lanjut.

Kelas pun hanya berisi para Santri. Namun, dari pada membuat onar ataupun keramaian, mereka lebih memilih untuk belajar, dari membaca kitab, buku, menulis, menggambar dan lain sebagainya. Hanya terdengar suara kipas angin tua yang berada di atas atap-atap Kelas.

Mulky yang tak biasa menggunakan pakaian koko, apalagi yang berlengan panjang seperti yang ia gunakan sekarang langsung merasakan gerah dan panas. Ia telah menggulung lengan bajunya agak keatas untuk mengurangi rasa panas yang ia rasakan.

"Gila, lo pada nggak ngerasain panas apa? Anteng banget kayaknya dari tadi." Tanya Mulky pada seluruh santri dikelas, sehingga membuat semua santri menoleh menghapadnya.

"Enggak, biasa aja," ujar salah satu santri.

"Panas banget sih Ya ampun! Kipasnya nyalain yng paling kenceng napa?" ujar Mulky dengan mengipas kipasi tubuhnya dengan peci hitam.

"Nyalain sendiri. Allah ngasih lu tangan sama kaki bukan buat nyuruh-nyuruh orang!" ujar Ilhaq. Ya, Ilhaq satu kelas dengan Mulky. Entah kebetulan atau disengaja, yang pasti, Mulky tak menyukai hal itu.

Mulky mengalah, ia tak mau berurusan lebih lama dengan Ilhaq. Ia berdiri, berjalan untuk menyalakan kipas angin tua agar ia tak merasakan kepanasan.

Xavier MulkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang