Extra Part

174 42 60
                                    

Tuhan, belum pantaskah aku bahagia?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tuhan, belum pantaskah aku bahagia?

Yang awalnya kukira udah menjadi akhir cerita yang bahagia, ternyata belum. Tuhan masih mengujiku. Alam masih belum rela aku bahagia dengan keluarga kecilku.

Aku merasa bodoh, atau aku emang bodoh dan nggak pernah pintar? Aku nggak pernah curiga maupun punya firasat buruk tentang penyakit yang diderita suamiku. Aku bahkan nggak tau kalau selama bertahun-tahun dia berjuang sendiri untuk dapat bertahan hidup dengan paru-paru yang rusak parah.

Seharusnya aku tau alasannya berhenti merokok tiba-tiba. Tapi aku justru berpikir kalau dia berhenti merokok karena Jellybean, karena dia nggak mau merusak sirkulasi udara di rumah dengan asap rokok yang bakal dihirup anakku.

Kenapa aku nggak pernah bertanya alasannya? Kenapa aku nggak kepikiran untuk mencaritahu alasannya? Kenapa aku nggak tau kalau dia mengidap Asbestosis sepanjang hidupnya dan pernah melakukan transplantasi paru sebelum menikahiku?

Dia hidup dengan paru-paru baru yang didonorkan oleh oranglain. Tapi sayangnya, lambat laun paru-paru itu justru membawa penyakit lain untuknya.

Kepergian Louis yang mendadak membuat keluarga besarku kembali berduka setelah hampir sepuluh tahun kami jauh dari kedukaan.

Rasanya seperti ditembak tepat pada jantung sewaktu dokter menyatakan suamiku telah pergi untuk selamanya.

Duniaku serasa hancur dan menguburku di bawah tumpukkan reruntuhan yang membuat dadaku sesak sampai kesulitan bernapas. Sampai ada cahaya putih dan dua tangan kecil menarikku keluar. Tangan Jellybean dan Gene yang menggenggamku erat.

"Ma, kenapa Papa lama banget bobonya? Sekarang, kan, hari sabtu. Waktunya kita main bola. Ini udah siang, loh, Ma," protes Gene sewaktu berdiri di samping tempat tidur di mana laki-laki tersayangku berbaring dalam ketenangan yang terpancar lewat wajahnya.

Belum sempat menjawab, Gene udah lebih dulu ditarik Niall ke bagian luar rumah. "Nanti main bola sama Uncle aja, ya?" Itu suara Niall yang kudengar sewaktu mereka melewati pintu.

Harry dan Joy nggak berhenti mengasupku dengan kata-kata yang menurut mereka bisa menguatkanku, padahal faktanya justru membuatku semakin rapuh.

"Mas Louis orang baik, Mbak. Pasti Allah menempatkan Almarhum di tempat yang sebaik-bainya. Mbak, harus ikhlas ya, supaya jalan Mas Louis lebih lancar," kata Ervita yang udah menjadi bagian dari keluarga besarku. Aku cuma mengangguk pelan. Mulutku rasanya kayak direkatkan lem yang membuatku nggak bisa membukanya sedikitpun.

Joanna menangis dalam diam. Ibu mertuaku itu kelihatan tegar banget. Dia masih bisa menenangkanku, padahal dia juga sama sedihnya denganku-mungkin juga lebih.

Ervita berjongkok depanku, memberikan segelas air yang kutolak dengan sopan. Aku nggak haus. Aku nggak pengin minum. Aku cuma pengin peluk Louis dan meminta dia menepati janjinya untuk membuat akhir yang bahagia.

Sassy Jessie || Terbit; GuepediaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang