Sudah 5 tahun Jungwon mencintai Jay, sudah 5 tahun pula Jungwon mendengar rentetan kata rindu yang Jay utarakan untuk cintanya. Katakan saja bahwa Jungwon aneh, dia tersiksa, tapi ia pun tak mau menghapus cintanya.
"Dek, sampai kapan?" tatapan khawatir dari kakaknya membuat Jungwon menyunggingkan senyumnya paksa, berusaha meyakinkan kakaknya tentang Jungwon yang baik-baik saja.
Tangan kecilnya membuka nakas, mengambil bungkusan plastik berisi puluhan obat yang telah lama dikonsumsi olehnya. Menyalurkan obat-obat itu kedalam kerongkongannya, dibantu dengan segelas air mineral dari sang kakak.
"Sampai kapan, apanya?" bohong. Bohong jika ia tak tahu dengan maksud ucapan yang dilontarkan yang lebih tua, bohong jika ia menjawab baik-baik saja. Hidupnya penuh kebohongan, itu yang ia rasakan. Tapi Jungwon bisa apa? Berkata sakit setiap saat kepada semua orang? Maaf, itu bukan gayanya.
"Hentikan, Jungwon. Cintamu menyakitkan," gelengan pelan yang mampu Jungwon berikan. Membuat pemuda tinggi di depannya menghembuskan napas berat.
"Kak Hee. Cinta Jungwon sakit, cinta Jungwon lelah berdiri sendiri, cinta Jungwon juga ingin semuanya berakhir. Tapi maaf, Jungwon belum siap melepasnya, Jungwon bahagia dengan cinta ini. Jungwon bahagia, memiliki bunga cantik disini," tunjuknya pada dada yang semakin sulit untuk menghasilkan oksigen.
Miris. Heeseung merasa sesak mendengarnya. Ia tak tega melihat adik kecilnya tersiksa karena cinta, ia juga tak tega melihat mamanya selalu menangis sepulang kerja ikut meratapi nasib malang anak bungsunya.
"Ini semua memang salah Jungwon. Perasaan ini salah. Jungwon yang telah melewati batas yang Jay berikan untuk Jungwon." Heeseung menggeleng ribut mendengar itu, Tangan besarnya meraih lembut tubuh adiknya yang semakin kurus, memberikan tempat untuk tangisan Jungwon yang semakin nyaring.
"Jungwon gak salah, perasaan Jungwon gak salah. Ini hanya tentang waktu, tentang waktu yang terlalu cepat menjatuhkan cintanya."
Suara tangisan Jungwon terhenti, tubuhnya semakin melemas, begitupun dengan beban yang diterima tubuh Heeseung yang semakin berat.
Jungwon pingsan, Jatuh tak sadarkan diri pada dekapan hangat sang kakak.
A N D E R S
Sakit, sudah biasa Jungwon merasakannya. Tapi entah kenapa, rasa itu belum membuatnya terbiasa. Jungwon bodoh, ia mengorbankan tubuhnya untuk menunggu cinta yang kapan terbentuk sempurna. Membiarkan nyawanya di permainkan oleh kematian.
Ia terduduk diam diatas brankar rumah sakit, rumah keduanya. Tubuhnya masih lemas karena suntikan yang diberikan dokter beberapa waktu lalu.
Jungwon meraih gelas berisi air mineral di nakas, menenggaknya sedikit demi sedikit untuk membasahi tenggorokannya. Hingga suara pintu ruangan yang dibuka membuyar lamunannya, memperlihatkan dua pemuda yang berjalan kearahnya, membawa bungkusan buah segar di tangan salah satunya.
"Bagaimana keadaanmu?"
Anggukan kecilnya membuat kedua orang didepannya tersenyum, senyuman iba yang membuat Jungwon merasa menjadi orang lemah, senyuman yang tak mau ia lihat kala seseorang menatapnya.
"Jungwon, cepat sembuh ya. Nanti kita main lagi kaya dulu!"
Jungwon tak yakin bisa sembuh, feeling-nya mengatakan bahwa ia akan kalah dari semesta. Entah cepat atau lambat, sembuh atau gugur, berakhir bahagia atau duka, Jungwon tak tahu. Ia pasrah, biarkan semesta menjalankan tugasnya. Menuntunnya menuju takdir yang terbaik untuknya.
"Ya, Amen"
A N D E R S
"Seung, dimana Jungwon?"
Jay kini berada di rumah Jungwon, menanyakan keberadaan bocah itu kepada sang kakak, yang kini tengah menatapnya tajam. Entah dari kapan dan sampai kapan Heeseung akan melayangkan tatapan tajam itu kepada Jay. Jay tak tahu, dan tak mau mempedulikannya.
"Gak ada disini," jawaban singkat dari Heeseung tak membuat Jay puas, tatapan Jay semakin menelisik Heeseung, mencari kebohongan di matanya yang sayang tidak ditemukan oleh Jay.
"Dia kemana?"
"Entahlah, mending kau pulang sekarang"
Jay tetap pada pendiriannya, tak akan pergi tanpa membawa Jungwon dengannya.
"Pulang Jay! Dia tak mau diganggu olehmu"
Perkataan tegas nan mengintimidasi dari Heeseung membuat nyalinya menciut. Bingung atas maksud dari perkataan Heeseung.
Apa Ia memiliki kesalahan kepada Jungwon? Apa ada sesuatu hal yang menyakiti hati Jungwon dari perkataan atau perlakuan Jay? Apa Jungwon sudah merasa bosan berteman dengannya? Atau bahkan, hanya Jay yang menganggap Jungwon sebagai sahabatnya? Mengapa?
"Mungkin nasibku memang begini, tak pernah jauh dari kata perpisahan"
Pada akhirnya, Jay lah yang merasa menjadi korban. Merasa paling disakiti oleh keadaan. Merasa menjadi manusia dengan perlakuan tidak adil dari semesta.
Padahal jika Ia mau menoleh kebelakang, ada seseorang yang lebih malang, bahkan untuknya berjalan kedepan pun seperti mustahil. Orang yang lebih pantas disebut korban dari takdir dan kekejaman semesta lebih darinya.
Pergerakan Jay menuju motornya terhenti. Heeseung, orang yang tadi mengusirnya kini memanggil namanya. Masih dengan tatapan tajamnya kepada Jay yang masih tak tau ada apa.
"Jay, kerbau yang membajak sawah pun sering merasa lelah. Apalagi seseorang yang selalu menahan sakit perasaannya dengan senyuman lemah."
to be continue.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.