Sixth

1.5K 243 29
                                    

Jika bisa memilih, sebenarnya Jay tak ingin mengikuti jejak sang Ayah. Jay punya cita-citanya sendiri, tapi takdir keturunan berada itu terkadang menyakitkan. Jay harus mengambil jalur masa depan yang tidak sesuai dengan bakatnya, itu susah, tapi itu harus dilakukan.

Kini, Jay yang masih berusia 20 tahun telah berhasil menguasai bakat ayahnya di bidang perbisnisan. Tidak bisa, bukan berarti tidak akan sukses. Dan itu telah Jay buktikan. Dengan menjadi direktur utama di pekerjaan yang bukan bidangnya.

"Jay"

Panggilan itu membuat Jay mengalihkan pandangannya dari kertas-kertas di hadapannya itu. Menengok seseorang yang baru saja memanggilnya. Pria Australia, temannya selain Sunghoon, dan Ni-ki serta sekertaris pribadinya.

"Bagian HRD kosong, nah tolong bantu interview mau gak?"

"Loh kan bukan bagian Saya?"

"Bantuin aja biar cepet, yang daftar ada banyak"

Jay menghembuskan napasnya kasar, lagi-lagi ia akan mengorbankan hari liburnya dan jadwal liburannya bersama Jungwon, Jay hanya bisa mengangguk pasrah kepada sekertarisnya, menerima permintaan Jake dengan setengah hati.

"Kapan?"

"Besok pagi, bisa gak?"

"Bisa"

Jay sedikit lega, rencananya bersama Jungwon sepertinya akan terlaksana. Meskipun nanti ada sedikit keterlambatan darinya. Setidaknya, Jay sudah menepati janjinya bukan?

A N D E R S

"Kak Jay, besok jadi kan?"

Suara nyaring dari Jungwon langsung menembus kuping Jay disaat pemuda tinggi itu menerima permintaan panggilan dari Jungwon. Ia sedikit tersenyum kecil, Jungwon tak pernah berubah. Ia tetap sama. Sifatnya masih kekanak-kanakan jika bersamanya.

Jungwon juga masih tetap mencintaimu Jay, jika kau mau tahu.

"Tentu, tapi sepertinya aku akan sedikit terlambat. Tak masalah?"

"Tak apa, nanti kita ketemuan langsung di dufan ya!"

"Kau tak mau menungguku?"

"Tidak! Aku takut kehabisan jajanan nanti"

Jay terkekeh, alasan Jungwon aneh. Bagaimana bisa jajanan disana akan habis dengan begitu mudahnya? Itu taman bermain, bukan festival makanan yang bisa habis kapan saja. Pasti pemilik toko sudah menyediakan alat dan bahan untuk membuatnya lagi jika habis. Jay tak mau berpikir lama-lama, Ia sudah terbiasa dengan sikap aneh Jungwon, itu bukan masalah besar.

"Hm, oke. Sampai ketemu besok Jungwon. Selamat malam"

Panggilan terputus, malam pun telah larut, diletakkannya ponsel Jay diatas nakas, memposisikan tubuhnya berbaring diatas ranjang, dan berusaha untuk menjemput alam mimpinya.

Sudut pandang - Jungwon

Jungwon mematikan ponselnya, memandang kontak seseorang yang telah mengisi sepenuh hatinya, si penanam dari bunga cantik yang kini telah tumbuh di dalam dirinya.

"Tidur, Jungwon"

Sunoo, sahabatnya yang kini tengah berbaring di atas ranjang Jungwon mengingatkan, mengutusnya untuk segera tidur mempersiapkan segala sesuatu yang terjadi esok hari.

"Besok kamu check up, kalau lupa"

Ah, benar besok jadwal check up nya. Hampir saja ia melupakan hal itu.

"Check up nya boleh diundur gak sih?"

Sunoo menggeleng, "Gak bisa, Jungwon. Minggu lalu kau sudah membolos! Kamu pulang ke Indonesia biar kita bisa lebih ngawasin, bukan biar kamu lebih ngegampangin gini"

Tatapan Jungwon menyendu, bibirnya mengerucut, dan kepalanya menunduk. Ia tak bisa membatalkan jadwalnya bersama Jay, dia tak mau. Lagipula, esok ia akan bertemu Jay, dia akan baik-baik saja. Dan mungkin, ia bisa melupakan rasa sakitnya barang sebentar.

"Tapi, Noo. Kak Jay kan obatku, besok aku bertemu dengannya, besok aku tak perlu check up"

"Jungwon, Jay memang yang menanam, tapi bukan berarti Jay juga dapat menyiramnya setiap saat. Check up ya? Nanti aku temani"

Benar, Jay memang yang menyebabkan rasa sakitnya. Tapi Jay juga belum tentu bisa menetralisir sakitnya. Apapun kondisinya, Jungwon tetap sakit, dan obat adalah jalan satu-satunya.

"Berangkat pagi, ya. Sore aku mau jalan-jalan sama kak Jay"

Sudut pandang - Tamat

A N D E R S

Jay mengetuk-ngetuk bolpoinnya pada permukaan meja, pukul 13.00 dan ia masih disibukkan dengan kegiatan rekrutan di kantornya, menunggu pelamar selanjutnya yang belum memasuki ruangan. Sudah terhitung 7 pelamar yang sudah ia sidang, kurang satu pelamar lagi yang sampai sekarang tak kunjung menampakkan diri.

Decitan pintu terbuka, serta suara nyaring dari sepatu hak tinggi mulai terdengar, langkah seseorang mulai mendekatinya. Matanya yang memandang kertas rekrutan sang pelamar membola, wajahnya tak asing. Wanita di foto itu...

Tak mungkin

Ketukan sepatu itu semakin mendekat, Jay masih tak mau menatap manusia di depannya, lebih tepatnya ia masih fokus terhadap data pelamar di genggamannya. Hingga suara lembut wanita di depannya terdengar, suara yang sangat familiar di telinganya.

"Permisi?"

Tak ada cara lain selain melihat calon karyawan baru itu, kepalanya mulai mendongak, menatap wanita dengan kemeja putih dibalut jas hitam, dan rok ketat selutut berwarna senada, tak lupa sepatu tinggi yang menutupi kaki putihnya.

"Jay?!"

Jay terkejut, matanya membola, suaranya tercekat, masa lalunya yang belum terlupakan ada di depannya, tersenyum manis kepadanya tanpa ada rasa bersalah di air mukanya. Wanita yang dibenci Jay, namun juga wanita yang dirindukan Jay. Wanita yang membuat Jay terbang, juga membuat Jay terjatuh.

Dia, Aerith. Masa lalu Jay, serta peran utama pada cinta Jay yang belum usai.

to be continue.

ingin memberitahu sedikit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ingin memberitahu sedikit. Jangan berharap terlalu banyak adanya adegan manis di cerita ini, karena sepertinya mustahil. Wkwk

Aku egois gak sih? Kalau minta kalian buat vote sama comment disini?

ANDERS - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang