Di pagi buta seperti ini Satya sudah memarkirkan motornya di parkiran sekolah. Padahal jam pun belum menyentuh angka enam. Bukan tanpa alasan ia datang sepagi ini, pasalnya ia memiliki niat untuk berterima kasih pada Melodi karena sudah menolong adiknya kemarin. Sembari menunggu Melodi, Satya berjalan keluar menuju penjual bubur ayam yang berada di samping sekolah. Tempatnya tidak jauh, hanya beberapa langkah dari gerbang sekolah.
"Pak, bubur ayam komplitnya satu," ujar Satya pada seorang lelaki paruh baya itu.
"Siap. Tumben ada anak sekolah datang sepagi ini, rumahnya jauh?"
"Nggak, Pak. Sekalian nunggu temen," jawab Satya.
Tidak butuh waktu lama bubur tersebut sudah dihidangkan di hadapan Satya. Satya memakannya dalam diam, tidak ada yang ia lakukan selain menikmati bubur hangat sambil melihat pemandangan jalan yang masih cukup sepi.
Ketika suapan terakhirnya baru saja akan masuk ke mulut, matanya menangkap sesosok perempuan berambut sedikit keriting yang baru saja turun dari bus. Ia segera mengeluarkan uang dua puluh ribu dari dompetnya dan bergegas menghampirinya.
Satya sedikit berlari untuk menghampiri Melodi, sebab entah mengapa anak itu jalannya lebih cepat melebihi teman-temannya yang lain.
"Melodi! Melodi!! Tunggu!" ucap Satya setengah berteriak.
Mendengar ada yang memanggil namanya Melodi reflek berhenti. Ia menolehkan kepalanya ke samping dan betapa terkejutnya dia ketika mengetahui siapa yang memanggilnya. Ini kali pertama mereka bertemu lagi setelah dua minggu tidak saling bertegur sapa.
"Sarapan bubur dulu yuk?" ajak Satya setelah ia benar-benar ada di samping Melodi.
"Nggak suka." Seperti biasa, walaupun hatinya tidak karuan, tapi muka dan nada bicaranya tetap sama.
"Kalau makannya sama gue, pasti suka."
"Idih? Pede banget." Melodi tidak menghiraukan Satya, ia memilih berjalan memasuki gerbang sekolah. Berdebat dengan orang seperti Satya bukanlah pilihan yang tepat.
"Mel, kenapa lo ninggalin gue terus, sih?" Satya berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Melodi.
"Ada apa Satya? Ada apa? Gue sibuk belum nugas," sergah Melodi membuat Satya tersentak.
"Ikut dulu bentar ke parkiran."
"Lima menit."
"Dari sini ke parkiran juga udah lima menit, Mel."
"Ya udah cepet."
Sekarang giliran Melodi yang mengekori Satya menuju parkiran, kalau di lihat-lihat lucu juga, Melodi yang awalnya tidak pernah berinteraksi orang luar selain kedua temannya, kini mau-mau saja di suruh orang yang baru ia kenal.
"Makan dulu, jangan sakit." Satya memberikan sebuah plastik putih berisikan roti, susu rasa strawberry dan juga sebotol air putih.
Melodi menaikkan sebelah alisnya.
"Gue tahu lo capek latihan. Tapi jangan sampai lupa kalau badan lo ini butuh asupan makanan dan air yang cukup, Mel."
Melodi menengok ke kanan dan ke kiri. Sekolah masih sangat sepi. Mungkin kali ini anak-anak rajin kalah dengan mereka.
"Sat, kenapa lo baik sama gue?" Bukan kata terima kasih ataupun maaf yang keluar dari mulut Melodi, tetapi kata-kata yang justru membuat Satya mengeluarkan napas berat.
"Mel mungkin lo bakal ketawa denger gue bilang kayak gini, tapi jujur gue cuma pengen lo tahu perasaan gue kayak gimana."
"Sejak awal ketemu lo di atap sekolah, saat gue lihat mata lo. Ketika itu entah mengapa ada perasaan yang dimana gue merasa kalau tanggung jawab gue itu bertambah satu, tanggung jawab untuk selalu menjaga lo, Mel. Lo perempuan ketiga yang berhasil buat gue luluh selain adik dan Mama gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyakala
Teen FictionSandyakala diambil dari Bahasa Sansekerta yang berarti gurat merah di langit senja. Cerita sederhana yang mengisahkan seorang perempuan yang sangat membenci senja. Ia benci dengan segala hal yang berkaitan dengan senja. Bertanya soal senja, membaha...