23 | 100 Hari untuk Satya

47 8 5
                                    

"Sat."

"Kenapa?"

"Gue takut ..." Melodi menjeda ucapannya sebentar, sebelum melanjutkan. "Gue takut bahwa siapapun yang gue cintai bisa meninggalkan dan menghilang dari hidup gue. "

"Dan ... rasa takut itu bertambah bahwa gue nggak akan pernah mampu menanganinya ketika hal itu terjadi."

Satya menghela napas, sekarang seluruh perhatiannya ia alihkan untuk Melodi. Harus Satya akui kalau ia bukan hanya sekadar suka pada Melodi, tapi tidak bisa ia pungkiri juga kalau suatu saat nanti mereka akan berpisah. Namanya juga perasaan manusia, bisa berubah-ubah kapan saja.

"Mel, gue tahu lo pernah kehilangan orang yang lo sayang. Tapi, untuk kali ini, izinin gue buat jadi yang pertama."

Lagi-lagi Satya berusaha meyakinkan Melodi. Baru kali ini Satya sebegininya sama perempuan.

"Apa yang buat gue yakin kalau lo itu laki-laki baik?" Melodi balik menatap Satya.

"Gue nggak bisa jamin. Lo yang menilai gue, Mel. Bukan gue sendiri."

"Kalau gue terima lo tapi gue punya satu keinginan, gimana?"

"Apapun, asal buat lo bahagia, gue lakuin."

"Gue pengen berdamai sama masa lalu." Tiba-tiba saja kalimat itu terlintas di pikiran Melodi. Ketika tangannya dipegang oleh Satya, entah darimana kepercayaan itu tiba-tiba jatuh pada Satya.

"Maksudnya?"

"Gini, kalau lo pengen gue jadi pacar lo, gue punya satu syarat yaitu lo bantu gue buat berdamai sama masa lalu gue. Tapi ... waktunya cuma seratus hari. Gue butuh orang yang bisa gue percaya, Sat," kata Melodi.

Karena salah satu alasan Satya mencintai Melodi adalah untuk membuatnya tersenyum. Maka, jika permintaan Melodi berdamai dengan masa lalunya bukan masalah besar.

"Gimana caranya? Gue tahu masa lalu lo aja nggak, Mel."

"Sekarang bukan waktunya gue cerita soal masa lalu gue, tapi dengan gue bilang kayak gini bukan berati lo bisa semena-mena sama gue." Melodi memberikan peringatan pada Satya

"Mel ... gue nggak pernah main-main sama perasaan perempuan. Gue punya Ibu juga adik perempuan, kalau gue nyakitin lo, sama aja gue nyakitin mereka, Mel."

"Semoga ucapan lo itu bener, Sat." Melodi tersenyum tipis.

"Setelah seratus hari apa gue bakal putus dari lo, Mel?"

"Itu rencana gue, lo nggak usah tahu. Jalanin dulu aja."

"Tapi, Mel, ini gue di terima nggak, sih?" tanya Satya berusaha merubah suasana yang tegang.

"Pikir lo?"

"Hah? Gimana? Gue degdegan, nih."

"Lawak lo. Kelemahan lo, kok, disebutin terang-terangan." Melodi tertawa melihat tingkah konyol Satya.

"Serius dong, Mel, gue di terima gak?"

Melodi tersenyum, lalu mengangguk sebagai jawabannya. Dan Satya, pastinya ia tersenyum senang karena cinta pertamanya tidak bertepuk sebelah tangan, walaupun ia diterima dengan misi yang Melodi berikan. Berarti dalam seratus hari ke depan, Satya harus siap menjadi tempat Melodi untuk pulang ketika dunia sudah tidak berada lagi di pihaknya.

Di sini, Melodi juga lupa jikalau setiap langkah yang ia ambil pasti ada konsekuensinya. Namun, untuk hari ini Melodi ingin egois terhadap dirinya sendiri. Ia juga berhak bahagia atas hidupnya.

"Gue pulang, ya, Mel. Udah setengah lima, belum solat ashar," ujar Satya sambil melihat ke langit, memastikan bahwa hujan sudah benar-benar berhenti.

SandyakalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang