[18] #Destruction Begin

108 25 22
                                    

Mereka seharusnya senang, ini seharusnya kabar bahagia. Ia telah kembali, kelopak mata itu kembali terbuka, rona pipinya menghangat, ia kembali hidup. Tapi mereka tahu ini tidak semudah itu, pasti ada bayarannya dan itu mahal sekali.

Air mata mengalir deras di pipi tirus Logan Grant Laquante. Matanya bergerak lemah menatap sekitar, Grant tahu dia tidak ada. Sebab Grant merasakannya, sang pengawas menjumpakan mereka sebelum Grant kembali.

Sekarang ia hanya sendiri di antara orang tuanya.

Bahkan butuh sekian detik untuk Ocyanna mencerna apa yang telah terjadi. Hatinya bagai tertusuk ribuan belati, mati. Ia hanya bisa terpaku, tanpa ekspresi dan bukan hanya Grant juga Ocyanna. Tapi semua merasakannya, Raja Orick, Pangeran Qarus, bahkan Liqron. Sebab mereka keluarga.

Bahkan tidak hanya mereka, penghuni lautanpun merasakannya. Lautan hening, langit menghitam, dan erangan kesedihan para naga bersahutan.

Laquante mulai di liputi rasa duka.


**


Sedangkan di Kerajaan utama Pixie Chorth, Arys Lyders tengah bersuka cita.

"Dan satu lagi hal baik baru saja terjadi."

Araldo melirik sang Raja tak paham. "Apa maksudmu?"

Arys tersenyum pelan dengan tubuh bergetar. "Keturunan Raja Elfs kembali mati." Ujarnya dengan rasa senang tiada tara.

"Hm, dua dalam waktu dekat. Itu mulai terasa janggal." Araldo menegak isi gelasnya. Rasa hangat mengalir di kerongkongannya dan amisnya memenuhi mulutnya.

"Ini bukanlah hal janggal! Penyebabnya alam mulai berkehendak. Hukuman mereka baru di mulai!" Tubuh Arys Lyders bergetar menahan haru, ia tersenyum bahagia. Sang Raja bangkit dari singgasananya.

Arys Lyders merentangkan tangannya sambil mendongakkan kepala, menikmati sinar mentari yang menimpanya. Ia tersenyum bahagia di tengah kilauan kulitnya.

"Akhirnya waktu yang ku tunggu-tunggu hampir tiba."

"Waktunya bukan hampir tiba, tapi kau yang menundanya selama ini. Sebab kau terlalu naif." Araldo kembali mengangkat gelasnya, detik kemudian cairan merah hangat itu menyembur ke mukanya.

Araldo Alvarez terkekeh pelan melihat pecahan gelas di tangannya. Luka sabetan di tangannya membaik dalam sekejap mata, Araldo menjilat darah yang menetes dari tangannya. Lalu ia menarik belati yang tertancap di sebelahnya.

Arys Tyroon Lyders menatapnya tak senang. "Aku menahannya selama ini. Tapi sepertinya benar bahwa hari ke hari kau semakin melunjak Araldo."

"Sepertinya status Raja ini mulai membuatmu melupakan tata krama." Araldo menyahut. Ia berdiri, sambil memegang belati yang sang Raja lemparkan kepadanya. 

Sesaat Arys merasa bagai bocah yang berhadapan dengan kakak tertuanya. Ia menelan rasa itu bulat-bulat, ia harus segera lepas dari rasa itu. Amarahnya memuncak.

"Persetan dengan hubungan darah kita yang menyatu. Aku mulai muak dengan permainan ini, aku sudah berusaha sekuat tenaga menahannya selama ini. Kau menginjak ku perlahan demi perlahan."

Arys menghela nafas kasar, lalu mendorong asal hiasan patung di dekatnya. Bunyi pecahan porselen meraung nyaring di aula besar itu.

Nafas sang Raja mengebu. "Padahal suasana hatiku sedang bagus."

Araldo tersenyum kecut dengan raut bingung. "Apa yang kau maksud? Arys, apa terlintas di fikiranmu bahwa aku-?" Araldo menahan kata-katanya. Ia dapat melihat raut wajah Arys berubah. "Padahal kita keluarga." Ujarnya sebagai penutup kata. Dan ia menang telak. Raut wajah sang Raja melunak, Araldo tersenyum penuh arti.

Nafas Arys yang mengebu perlahan memelan. Ia mengepalkan kedua tangannya menahan malu. "Setidaknya berhentilah bersikap seperti itu. Aku min-" Ia menghela nafas kasar sebelum berbalik dan melangkahkan kaki menjauh.

Araldo masih diam di tempatnya hingga sang Raja meninggalkan aula. Detik kemudian belati di tangannya remuk oleh hembusan angin Araldo. Ia mengelap darah yang tersembur di wajahnya akibat ulah sang Raja tadi. Matanya berkilat sinis memandang ke depan, senyumnya hilang.

Apa aku terlalu mengulur waktu? Apa aku, terlalu baik dengannya?


**



Semua orang mengenal Antares WhiteElfs. Sang Pangeran mahkota Kerajaan WhiteElfs, satu-satunya keturunan sang Ratu. Walau begitu iya memiliki kepribadian yang baik, tentu saja sebelum kejadian penculikkanya. Tapi bukan berarti ia berubah jahat, ia masih baik bahkan menawan di mata sebagian orang. Hanya saja, itu semua palsu. Tapi apapun alasannya, tidak ada yang cukup bodoh untuk membunuhnya dengan cara mengirim pembunuh bayaran amatir menggunakan senjata pribadi.

Dan yang lebih membuatnya kesal adalah, Leanne telah di butakan amarah dan ketakutannya hingga berbuat bodoh.

Kiron menghela nafas panjang. Saat ini satu ruangan di suguhi oleh suara raungan Lyla Qiryn, ini bahkan telah lewat satu malam tapi wanita itu tak kunjung berhenti. Kiron menyumpah, tentu saja itu hal yang wajar. Putranya dalam penjara atas tuduhan percobaan membunuh Pangeran mahkota dan sialnya penyebab itu semua istrinya sendiri. Kiron terdiam malu.

Lecaros sibuk berbincang dengan putra sulungnya Joffaliz, tampaknya mereka tengah menyiapkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Sang Ratu akan membuka sidang untuk Galbry, dan melihat situasi sekarang kemungkinan sang Ratu mengampuninya kecil.

Hukuman pengasingan atau pencabutan gelar kemungkinan akan menimpa Galbry.

"Setidaknya kita mendapat banyak pembela."

"Maksud ayah para penjilat itu?"

Lecaros tidak membalas kata-kata sang putra.

Joffaliz berdecih pelan. "Mereka membuat situasi kita semakin sulit. Ratu semakin mengganggap kita berkhianat."

"Dia sudah menganggap kita seperti itu setelah memutuskan melempar saudaramu ke penjara bawah tanah."

Joffaliz menatap sang ayah dengan raut tak percaya. "Bagaimana bisa ayah berkata semudah itu? Perbuatan ayah akan membuat orang-orang semakin yakin bahwa aku ingin mengkudeta Ratu melalui Pangeran mahkota. Aku lelah mendengar tuduhan ini!"

Kiron menelan salivanya tanpa sadar, telapak tangannya berkeringat sebab gugup.

Lecaros WhiteElfs menatap datar putranya sebelum beralih kepada Kiron. "Jendral Kiron, bisakah kau beri aku waktu dengan putraku?"

Kiron membuka mulutnya ingin membalas, tapi Lecaros mengangkat tangannya. "Aku paham niat baikmu berada di sini, tapi aku perlu membicarakan ini dengan keluargaku. Kami tidak ingin salah paham baru kembali timbul dengan adanya kau di sini."

Kiron mengangguk-anggukan kepalanya. "Aku paham. Aku, minta maaf. Tapi aku yakin dia tidak mungkin sekejam itu pada Galbry. Kalian pun yakin dia tidak akan menjatuhkan hukuman mati pada keponakannya sendiri, benar?"

Tidak ada yang menyahut. Kiron malah tersentak oleh raungan Lyla Qiryn yang kian kuat.

Joffaliz mendekatinya, Kiron tidak menduga sang Pangeran merangkulnya.

"Terima kasih paman. Aku tidak pernah membencimu, ingat itu selalu." Bisiknya sebelum Kiron meninggalkan ruangan.

Sudah lama sejak terakhir kali ia merasakan ketakutan yang seperti ini. Kiron berusaha keras menyangkalnya, Leanne tidak segila itu. Ia berharap.

Sebab sebenarnya hukuman untuk pelaku percobaan pembunuhan adalah hukuman mati. Apalagi, calon korban kali ini sang Pangeran mahkota.





To be continued....




***



Jadi... Setelah tiga bln y, atau empat? Aku, gk punya kata2 lagi selain maaf. Maaf selalu telat. Tapi aku mau kalian tau, walau setelat apapun aku gk akan meninggalkan cerita ini gk akan. Aku juga gk minta kalian nunggu kok, aku merasa egois klau masih pede meminta kalian nunggu. Aku bakal trus up cerita ini kpn pun itu krna ini tanggung jwbku..
Aku bakal kasi tau alasanku knp gini tpi gk skrng, maaf ya... dan makasi klau masih ada yg baca. Kalian bener2 berharga buat aku 🙏🙏🙏

Elven Golds [2] : Destruction For The ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang