[08] #Hidden Things

679 72 9
                                    

"Para pemberontak gugur semua yang mulia."

"Tentu saja." Jawaban tak terduga itu mengundang pertanyaan besar si prajurit. Tapi ia pendam dalam-dalam agar isi hatinya tak terlontar. Tidak ingin membahayakan nyawanya lebih lama hanya karena kata-kata, ia pun undur diri.

Seseorang menggebrak meja dengan keras sebelum si prajurit selesai menutup pintunya. "Sudahku peringatkan, seharusnya kau tidak macam-macam!"

Ia masih tenang di atas kursinya, memperhatikan peta besar yang terbentang di mejanya. Memperhatikan dengan seksama enam panji Kerajaan di sana.

"Mungkin kau mengabaikannya karena kedudukkanku juga bantuanmu. Aku bersungguh-sungguh ketika mengatakan ini."

Helaan nafas gusar tidak bisa ia tahan, "Kau masih bisa mengatakan itu setelah menghianati Klanmu?"

"Jaga mulutmu Kypros!"

"Seharusnya kau yang lakukan itu!" Gladyrion Kypros tidak dapat menahan raut wajahnya, fikirannya sedikit kacau oleh ocehan tanpa henti lawan bicaranya.

Masalah demi masalah yang datang, pemberontak tidak lagi bisa di tahan jumlahnya kian banyak, kelompok mereka di mana-mana, dan Kerajaan penyihir putih tidaklah besar. "Berhentilah bersuara seolah-olah hanya kau pemegang kendali utama, itu membuatku muak. Mereka bahkan tidak mendengarkanku."

Ia terkekeh pelan. "Astaga lihat kata-katamu, kau besar kepala karena aku berada di kastil kecilmu."

Gladyrion hanya memejamkan mata dengan tangan yang terkepal.

"Lain kali aku yang akan susun rencananya, dan kau," -tunjuknya pada Gladyrion- "Bersikaplah semestinya, selalu mendengarkan seperti yang di lakukan moyangmu pada kami."

Tentu saja, menyatakan ketidaksenangannya adalah tindakan ceroboh yang membahayakan Kaumnya. Apalagi dengan tameng majelis kecil kerajaannya. "Itulah yang kulakukan, yang mulia."

Ya, seperti inilah seharusnya, topeng palsu kedua pihak selama ini, sikap berpura-pura mereka. Semuanya mulai melelahkan, dan satu masalah memacunya keluar. Ini adalah kehendak nenek moyang, kedua panji Kerajaan ini tidak menyatu atas keinginan pribadi. Tiang paksaan pondasinya. Karena penyatuan darah terlarang yang mereka lakukan. Sekarang perlahan runtuh, semua karena tahta besi.

Dia segera berlalu tanpa mau basa-basi.

Sudah banyak kepala terpenggal karena semua ini, karena keberanian mereka menantang tahta untuk masing-masing. Kerjasama kotor agar keinginan keduanya segera tercapai. Tapi itu tidak akan lama, sampai saatnya tiba, Gladyrion akan menikmati mengeksekusi mereka semua.

Memang, mereka bukanlah yang paling berkuasa tapi tetap yang terkuat.








**







Orang-orang itu mengepung dari kedua sisi; depan dan belakang. Dua penunggang kuda dari kedua sisi, dan  empat orang tanpa tunggangan. Hutan belukar di kanan dan kiri mereka. Belati berkarat serta kapak curian di genggaman mereka, lama bertatap keduanya menyentak kudanya. Athela menggenggam erat pedangnya. Kuda berbulu abu-abu itu meringkik, kuku kuda bertapal baja milik Mya menyepak wajah salah satu perampok; di iringi bunyi derak yang menjijikkan. Tubuh itu terjatuh dengan wajah hancur. Di belakangnya, Vassilius menarik tali kekang salah satu penunggang, tubuh itu terhuyung, dadanya mendarat tepat di pedang sang penyihir. Penunggang kuda satunya telag melesat dengan cepat di dekatnya, Vassilius meremas kaki kuda itu dengan tangan kosong. Penunggangnya terjatuh, dinginnya lapisan pedang menembus  jantungnya.

Athela meloncat dari tunggangannya, hujan darah memercik ketika salah satu perampok mendekatinya. Salah satu dari mereka menyentak kudanya mendekat, keturunan terakhir Blackdemons segera menyabetkan pedangnya. Kaki mahluk malang itu terpisah dari tubuhnya, penunggangnya terpental tak jauh. Dengan berderai darah dan luka ia berlari berusaha menyerang, Athela memutar pedang di tangannya. Lapisan baja tajam itu merobek perut si penyerang. Dari arah belakang pedang terhuyung hampir mengenai bahunya, Athela menunduk lalu berputar. Pedangnya melukai pinggang orang itu, dia jatuh berlutut. Tak lama ambruk dengan kepala terpenggal, kaki Athela terangkat meremukan kepala itu. Darah memercik hingga ke wajahnya, ia menatap datar gumpalan daging hancur di bawah sepatu kulitnya.

Elven Golds [2] : Destruction For The ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang