42. Sesuatu Di Malam Hari

404 77 4
                                    

malam ini, aku ada disini. sendirian di bawah pancaran sinar bulan, ditemani bintang bertaburan, dan angin malam yang menusuk tulang. rambutku terombang ambing, mengikuti gerakan arah angin. seolah pasrah menerima keadaan, dan membiarkan dirinya bergerak kesana kemari.

aku dulu sempat ke sini. sering malahan. hanya untuk sekedar melihat anak anak yang bermain perosotan, mengayunkan ayunan, dan juga meloncatkan dirinya di jungkat jungkit. tapi karena sekarang malam, tak ada anak anak itu. mereka pasti sudah di suruh tidur oleh orang tuanya. ada yang sambil di bacakan dongeng pengantar tidur, di tepuk tepuk pantatnya, atau bahkan hanya sekedar dikecup keningnya.

entah mengapa, aku merasa sumpek dan ingin pergi keluar sebentar. akhirnya, aku memutuskan untuk kesini. ke taman dekat rumahku.

ah, taman ini tidak sepi saat malam hari. masih banyak anak anak muda yang nongkrong disini. jadi aku juga cukup berani untuk datang.

sebenarnya, tak banyak yang aku lakukan disini. aku hanya memandangi orang orang itu yang berlalu-lalang, juga mendengarkan suara mereka yang bersahutan dengan desisan jangkrik. dan juga, menikmati angin malam.

sudah lama rasanya aku tidak merasakan angin malam yang ada di bandung. jadi kini, aku menumpahkan semua rindu ku pada angin.

mataku memejam saat angin tiba tiba kurasa mulai ganas menggerogoti jaket ku. tapi itu tak menjadi alasanku untuk kembali ke rumah. aku bahkan sangat menikmatinya.

"langit..."

mataku tiba tiba melebar. mendengar suara yang sangat tak asing di hidupku, dan memanggil nama itu, berhasil membuat tubuhku mematung.

aku tak bergerak sama sekali, sampai nama itu kembali disebut.

"langit..."

spontan aku berdiri lalu berbalik, menoleh pada sumber suara. dan betapa terkejutnya aku menemui dia. seseorang yang sering mengajakku untuk melihat anak anak bermain di taman ini. seseorang yang sering bersamaku saat merasakan angin malam. itu dia. seseorang, yang sangat aku rindukan.

nafasku mulai memburu, jantungku juga mulai berdegup tak karuan, saat melihat wajahnya yang tak berubah, dan perawakannya yang sama sekali masih sama saat terakhir kali aku melihatnya.

dia mendekati ku. perlahan namun pasti. dan dengan senyumnya yang khas, dia sudah berdiri tepat dihadapanku. memandangku dengan sorot matanya yang sangat lembut.

"b-bumii?" kini aku mulai membuka mulutku.

"halo langit." senyumnya semakin merekah. bahkan giginya ia tunjukan, menunjukkan kalau sepertinya dia tengah berbahagia.

"ini kamu... bumi?"

kepalanya mengangguk, "iya. ini aku. kamu apa kabar?"

bukannya menjawab pertanyaannya, aku malah terus menatap kedua bola matanya. rasanya ini sangat tidak nyata. bisa kembali menatapnya, sampai sampai kami saling berbicara. ini... ini betulan?

"langit? kamu baik baik aja kan?"

"kamu mau jawaban jujur atau bohong?"

"karena di agama kita dilarang bohong, jadi aku mau jawaban jujur."

aku menarik nafas panjang, "gimana bisa aku baik baik aja setelah kamu pergi?"

"aku 'kan pernah bilang, aku gak akan pergi kemanapun langit. aku... akan selalu ada sama kamu."

aku diam. tenaga ku untuk berbicara tiba tiba lenyap. seperti sudah tak ada kuasa lagi untuk mengucapkan sepatah atau duapatah katapun.

"langit..." tangan bumi tiba-tiba bergerak. tangannya... mulai menggenggam tanganku. "dulu aku sempat khawatir. aku takut... kamu akan ngerasain sedih yang berlarut, sampai bisa aja kamu ngelewatin impian kamu. tapi emang, kamu adalah perempuan terhebat setelah bunda dan teh manda. kamu berhasil, langit. kamu berhasil lanjutin semua impian kamu."

"dan aku seneng, udah ada sosok baru yang gantiin aku di kehidupan kamu." lanjutnya, yang membuat mataku spontan menatap kedua bola matanya.

"nggak, bumi. gak ada satu pun manusia yang bisa gantiin kamu."

"ada. kak dipta. aku bersyukur, kalau kak dipta sayang sama kamu. ya walaupun emang masih gantengan aku, tapi ketulusan dia untuk kamu gak bisa di raguin." ujarnya, "kamu jangan terlalu pikirin aku. jangan terlalu khawatirin aku. dengan liat kamu yang bahagia, aku juga pasti bahagia, langit."

"gak bisa..." air mataku menetes.

bumi tersenyum, "pasti bisa. kan kamu perempuan hebat."

"aku udah beli gelang yang kamu mau."

"ah itu! iya, aku udah liat. makasih ya..." senyumnya merekah.

"kamu suka?"

"iya suka."

"karena aku udah beliin gelang keinginan kamu, apa kamu juga bisa kembali lagi, sesuai keinginan aku dan keinginan semua orang?"

kedua lengan bumi mulai terarah pada pipiku, mengusap air mata yang mulai ramai berjatuhan.

"bumi jawab..." seru ku.

"ini udah takdirku, langit. mana bisa aku menentang takdir."

"ternyata semesta jahat, bumi. jangan suka dia lagi." ambek ku.

"jahat dari mana? nggak, kok."

"kalau dia gak jahat, kenapa dia gak ngizinin kita buat bersama, seenggaknya untuk dua puluh lima tahun."

"karena itu semesta baik. dia tau, apa yang terbaik untuk kamu."

"ya itu kamu. kamu yang terbaik buat aku."

bumi menggeleng pelan, "nggak, langit. buktinya, ternyata semesta ngambil aku dari hidup kamu. itu artinya, aku gak baik untuk kamu."

"kamu baik, bumi. gak ada satupun manusia yang memperlakukan aku sebaik kamu di muka bumi ini."

"kamu udah nemuin pengganti itu, langit. kamu jangan khawatir. dia pasti akan memperlakukan kamu, jaaaaauuh lebih baik dari aku memperlakukan kamu."

"gak ada yang bisa gantiin kamu. sampai kapanpun." keukeuh ku.

"aku harus pergi sekarang." tangannya bergerak, mengelus puncak kepalaku, "jaga diri baik baik ya, langit. walaupun kamu gak bisa liat aku, tapi percaya kalau aku akan selalu liat kamu. aku selalu ada di samping kamu. ya?"

"kamu mau kemana?" aku menggenggam lengannya dengan erat, takut takut bumi tiba tiba menghilang dari hadapanku.

"aku harus pergi. makasih kamu masih mau ngobrol sama aku."

"nggak! kamu gak boleh pergi!"

"kalau kamu rindu aku, kamu bisa ngadu sama semesta. biar semesta yang menyampaikannya langsung ke aku."

tak ada jawaban dari ku. yang aku lakukan hanya menggenggam erat lengan bumi, sambil menangis sejadi-jadi nya.

"percayalah langit, kalau takdir ini adalah takdir terbaik untuk kita. kamu harus bahagia. entah dengan siapa dan dimana, kamu wajib untuk berbahagia. kamu bisa bahagia tanpa aku."

aku menggeleng, tapi enggan mengucapkan sepatah katapun. rasanya terlalu sesak dalam dada. dan hanya air mata yang mampu mewakilkan semuanya.

"aku sayang sama kamu, langit..."

"aku juga sayang sama kamu! jadi tolong, jangan pergi, bumi!"

"inget pesan aku ya, kamu wajib bahagia. aku pamit."

genggaman tanganku pada lengan bumi semakin ku erat. tapi rasanya, semakin ku mengeratkannya, malah bumi seperti semakin mudah untuk pergi.

lengan yang sebelumnya ku genggam, kini perlahan menghilang. tubuh yang sebelumnya ada tepat di hadapanku, perlahan menjadi samar. senyum yang terukir dengan indah itu juga, kini sudah memudar.

bumi... dia benar-benar pergi.

dadaku semakin sesak, air mataku semakin deras untuk keluar. kaki ku rasanya lemas, sampai membuat aku terjatuh tanpa tumpuan.

tepat saat aku menjatuhkan diriku pada tanah, tepat saat itu juga aku terbangun di atas kasur di dalam kamarku dengan nafas yang tersenggal.

dadaku masih terasa sesak. bahkan air mata itu, benar benar tumpah membasahi bantal.

itu semua hanya mimpi. tapi kenapa rasanya sangat nyata.

"bumi..."




semesta (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang