Matahari sedang bersinar terang

10 2 0
                                    

Beam dengan senyum di bibirnya bejalan penuh percaya diri berjalan di dalam rumah sakit. Hari ini dia mendatangi Marina sembari membawa bunga kesukaan gadis itu.

Dia sangat merindukan gadis yang kini tertidur dalam jagka cukup lama. Beam hanya berharap Marina segera pulih dan dapat bertemu dengannya.

Senyum manis utu hilang saat seorang perawat memanggilnya.

"Maaf, apakah anda keluarga pasien? Karena hanya pihak keluarga saja yang bisa menjenguk pasien." Beam seketika sedih saat mendengar perkataan suster tadi.

" bukan, aku—Tidakbisa kah aku hanya meletakan bunga ini ke dalam." Tanya Beam.

"Anda bisa memberikannya ke pada saya, nanti akan saya letakan di ruangan pasien." Seru suster itu.

Beam dengan berat hati menuruti perkataan suster tadi. Lelaki itu kini terlihat sangat sedih dan tak bersemangat berjalan keluar rumah sakit.

Lelaki itu melihat ke arah tangannya, dimana terdapat benda cantik melingkar di tangannya.

"Aku harus mengembalikannya." Seru Beam.

Sementara itu, Messha yang baru bangun harus menghadapi sang ibu yang mendadak tadang.

"Mengapa kau membawanya menemui Marina?"

Messha tau maksud yang di katakan sang ibu, pasti soal kemarin saat dia membawa lelaki asing itu ke rumah sakit.

"Ini masih pagi, aku tak pernah mendapat omelan di pagi hari." Messha merasa moodnya hancur sangat cepat hari ini.

"Kau seharusnya bertanya dulu kepada ku, kepada ayah mu sebelum kau melakukan sesuatu." Seru sang ibu yang terlihat kesal.

"Ada apa pagi-pagi ini kau sudah berteriak di rumah ku." Sang ayah yang sepertinya juga baru bangun, sedikit terganggu dengan teriakan sang mantan.

"Messha membawa Beam."

"Beam?" Messha tak tahu siapa itu.

"Lelaki yang kemarin kau bawa ke rumah sakit. Lelaki itu dulu adalah kekasih Marina." Sang ayah menatap Messha saat mengetahui kemarin sang anak ternyata datang kerumah sakit, gadis itu kini tengah melihat arah lain.

"Sudah lah, ini masih terlalu pagi untuk berteriak." Sang ayah ada di sisi Messha, dia tahu betul jika sang anak tak suka ada yang meneriakinya karena memang Messha tak pernah di teriaki atau mendapat perlakuan buruk— khususnya dari sang ayah.

"Kau selalu membelanya, kau tau itu membuatnya menjadi besar kepala dan tak pernah mau mendengarkan kata orang lain." Seru sang ibu yang kini sepertinya lepas kendali.

Messha terpancing pada perkataan sang ibu. "Bisa kah kau diam!" Messha sudah mencoba untuk memilih kata yang tepat.

"Aku masih ibu mu, Messha. Kau harus bersikap tunduk kepada ku. Aku memang tak merawat mu tapi aku yang melahirkan mu." Messha benar benar emosi sekarang. Sang ayah mencoba melerai keduanya— Ayahnya sendiri sedang lelah jadi dia hanya menarik Messha menjauh dari ruang tamu.

"Lebih baik kau diam saja saat dia berbicara, tak ada gunanya melawan." Messha sedikit setuju dengan sang ayah. Dia memang tak mengenal ibunya, keduanya tak pernah saling berkomunikasi selama ini.

Messha masih bisa mendengar pertengkaran kecil di antara inu dan ayahnya. Messha membekap telinganya dengan bantal dan berteriak.

"Aku bisa gila jika berdekatan dengan ibu lebih lama lagi." Seru Messha.

Setelah di sambut dengan kerusuhan di pagi hari, kini Messha duduk dan menyantap sarapannya yang sudah lewat dari jamnya.

"Jadi kemarin kau di rumah sakit?" Sang ayah duduk di seberang Messha dan ikut menikmati makanan.

Sorry, I Love youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang