"Ga? Kamu jam 8 malem baru pulang? Kamu masih SMA lho, bukan mahasiswa yang jam masuk kelasnya gak tentu."
Baru saja masuk rumah, Angga sudah dihadapi Pak Derwan yang katanya hari ini libur kerja, entah libur karena apa Anggapun tidak peduli. Angga bisa menebak sepertinya dirinya akan diinterogasi.
"Abis dari mana kamu?!"
Jawaban Angga sepertinya benar. Nada tanya dan juga sorot mata tajam dari sang papahlah sebagai buktinya.
"Tadi nonton Band dulu di mall," jawab Angga jujur. Walaupun ia malas menjawab, ia sadar dirinya tengah berbicara dengan orang tua yang butuh penjelasan anaknya.
Karena ada acara musik besar di mall, Anggga tidak ingin melewatkannya, hanya sekedar membayangkan sang vokalis itu adalah dirinya yang sedang bernyanyi di atas panggung, itu sudah cukup menyenangkan, sekaligus ... menyakitkan. Ini tentang mimpi Angga.
"Padahal daripada nonton gak jelas, lebih baik kamu ikut les kayak anak-anak temen bunda Ga." Bu Litta yang baru muncul dari pintu kamar ikut berkomentar. Angga serasa dicegat di sini.
"Ga? Papah besok libur kerja. Dan kayak biasa." Tatapan Pak Derwan kali ini berbeda. Ini seperti rayuan. "--Kita bakal bisbol bareng rekan bisnis Papah. Jadi kamu siap-siap ya?" ajak sang papah. Bukannya menyapa atau basa-basi terlebih dahulu, ia langsung melontarkan kata yang Angga sudah baca di chat whatsapp.
Angga melengos. Melewati Pak Derwan begitu saja. "Kita?" beonya, "Papah aja. Angga ada acara besok. Jadi gak bisa," tolaknya masih terus mematri langkah.
Pak Derwan yang tidak terima diabaikan begitu saja, mengikuti langkah Angga dengan berusaha menahan emosi dengan secerca harapan --Angga luluh--.
"Emang acara apa sih? Sampai gak bisa milih kegiatan sama Papah?"Langkah Angga sudah sampai di anak tangga ke lima, dan berhenti untuk menyelesaikan pembicaraan daripada harus diikuti sang papah sampai kamar. Ia membalikkan badannya untuk menatap lawan bicara agar terlihat lebih sopan. Terlebih, bagaimanapun, lawan bicaranya saat ini adalah papahnya. "Ada lah pokoknya. Namanya juga anak muda," jawabnya santai.
Pak Derwan di bawah tangga masih mendongak. "Acaranya besok. Dan akan banyak rekan bisnis Papah besok yang akan datang. Kita rencananya mau bikin pertandingan sambil seru-seruan gitu," jelasnya.
Angga mencebik kesal, karena tanpa dijelaskan, ia sudah tahu arah pembicaraan sang papah.
"Dan nanti para anak-anak pebisinis juga bakal ikut tanding. Para ayah versus para ayah, dan para anak tanding dengan para anak pebisnis yang lain," jelas Pak Derwan masih berusaha mengukir senyum. Sebisa mungkin ia merayu anak satu-satunya agar tidak melawan dan hanya menurut.
Sebelum menjawab, Angga menarik napas berat dalam sekali tarikan. "Aduuh Pah maless! Kenapa sih selalu harus sama anak-anaknya?!" protes pemuda tinggi itu.
"Kan kamu penerus Papah Ga!"
"Terus apa kaitannya dengan bisbol?!" Angga mulai lelah menghadapi paksaan.
Pak Derwan juga ikut naik pitam.
"Komunikasi itu penting. Silaturahmi itu penting bagi pebisnis. Dan ini adalah salah satu cara kami dalam berkomunikasi Ga. Kamu harus terbiasa dengan itu!" tekannya."Jadi Papah udah mutusin aku harus jadi pengusaha gitu?! Nerusin perusahaan Papah?!" tanya Angga. Matanya menyalang.
Pak Derwan mengusap wajah gusar.
"Ya terus siapa lagi Ga?! Papah kan gak punya anak lagi selain kamu." Tidak bisa dipungkiri mata lelaki dengan usia kepala empat ini tak kalah nyalang dari Angga. Ternyata ia tidak bisa sabar mengahadapi anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AngGaTta [ON GOING]
Teen Fiction"Ga? Lo bisa gak sih jangan terlalu deket sama gue?!!" "Lah, kenapa?" "Lo kan udah punya pacar anjir! Pake nanya. Ntar cewek lo ngamuk lagi gimana?!! "Gue gak bisa." "Kenap--" "Karena gue juga suka kan sama lo?" "STOP BERCANDA GA!" "Gue gak bercand...