14 - Hadiah yang meribetkan

32 10 21
                                    

Setelah perjalanan panjang kurang lebih 1 jam setengah, akhirnya keenam sahabat ini tiba di puncak Rindang, di sini mereka bisa melihat perumahan kompleks, desa, kebun dan sawah-sawah warga yang berada di dataran yang lebih rendah dari puncak serta pemandangan pusat kota.

Metta memejamkan matanya, menikmati udara segar pagi hari di puncak ini, angin sepoy-sepoy meniup pelan rambut sebahu miliknya.

Udara di puncak ini benar-benar menyegarkan, sangat segar, sampai terasa dingin menjalar masuk ke dalam kepala Metta. Dengan ini, gadis ini bisa sedikit melegakan pikirannya. Setidaknya bisa menetralkan otaknya yang kadang pening memikirkan masalah hidup.

Terima kasih Tuhan, telah menciptakan pemandangan seindah ini. Ciptaan-Mu sangat aku syukuri. Aku tidak tahu bentuk angin, tapi aku bisa meyakini keberadaannya saat dia melewatiku dan membuatku bernapas dengan lega, dia memberiku banyak udara. Dia memberiku kekuatan di pagi hari. Terima kasih Tuhan, semua yang kau ciptakan selalu ada alasan yang akan membuatku suatu hari sadar mengapa ia diciptak--

"Met, kaki lo beneran gakpapa?"

Pertanyaan dari seseorang yang berdiri di belakangnya membuat Metta membuka mata saat ia sedang menikmati hirupan udara di pagi hari.

Dasar Angga pengganggu!!

Metta sedikit menarik napas saat sudah membuka matanya. Udara segar itu masih ingin ia nikmati.
"Gue baik-baik aja kok, orang gue cuma keseleo," jelasnya. Tidak ingin Angga khawatir --eh atau lebih tepatnya tidak mau berurusan dengan Angga.

"Tapi kan keseleo biasanya sakit," ujar Angga. Duduk lesehan di samping Metta.

"Sakitnya cuma tiga detik kok, abis itu kaki gue biasa lagi," kekeuh Metta. Repot sekali meyakinkan laki-laki di hadapannya ini.

"Tapi kata Satya, kaki lo sakit katanya akibat efek jalan kaki pas hari itu." Angga lagi-lagi mendesak.

Metta mengedikkan bahu. "Mungkin," katanya, "gue gak tahu juga sih, tapi yang jelas sekarang udah gak sakit lagi kok, santai," ujar Metta, menepuk bahu Angga, berdiri, dan melangkah menghampiri teman-temannya lain yang tengah bersiap membangun tenda.

Mereka memang tidak akan menginap, tapi rasanya kurang saja kalo naik gunung tidak ada tenda. Nanti sore juga itu tenda akan dibuka lagi. Tenda itu hanya digunakan untuk sekedar foto-foto saja lebih tepatnya. Haha variasi saja.

¤¤

"Yey, selesai juga ni tenda." Luna meloncat antusias setelah selesai memasang tenda. Walaupun ya ... sebenarnya ia tidak membantu banyak, hanya membantu mengikatnya pada kayu yang ditanjap di tanah. Tapi tetap saja, lega sekaligus senang sekali rasanya. "Yaudah, cepetan baris kita sekarang. Terus foto," ajaknya tidak sabar.

"Ribut banget si lo! Makan dulu lah gue lapar," gerutu Balqiss yang tengah duduk di atas tanah sembari merogoh isi tasnya.

"Ih bentar doang!" rengek Luna masih berusaha keras membujuk semuanya, dan mulai menarik-narik tangan teman-temannya. Satu persatu.

"Nih bocah kenapa sih?! Gue lagi minum, kalo gue keselek gimana?" omel Satya saat tangannya ditarik Luna. Air mineral di botol bergoyang membuat si air terciprat beberapa tetes ke wajahnya.

"Iya. Difoto nanti aja lah Lu, isi perut dulu yang paling penting," saran Metta yang kini mulai mengorak-arik tas besarnya.

"Yaudah deh," pasrah Luna dan dengan tampang tak berdosa mencomot roti yang dipegang Balqiss. Balqiss hanya merenggut sebal.

"Met?" Angga mendekat mulai menaik turunkan alisnya. Kalo alisnya udah beraksi, mau apalagi ni Angga?

Metta pun menghadap Angga. Siap menjadikan Angga lawan bicaranya.
"Apa?" tanya Metta datar, dan ketika ia menyadari salad buah yang diasongkan Angga, raut wajah Metta menjadi antusias. "Wah salad buah, baik ternyata yah lo Ga!" puji Metta seraya dengan cepat mengambil salad buah yang berada dalam kotak yang diasongkan Angga itu. Lelaki itu tersenyum karena Metta terlihat senang.

AngGaTta [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang