F I F T E E N

50 9 1
                                    

Shaka memberhentikan motornya di depan sebuah bangunan mirip hotel yang hebatnya bangunan itu merupakan bangunan sekolah dasar.

Mulanya Shaka pikir SMA Chandra Buana, tempatnya menuntut ilmu saat ini adalah sekolah paling elit di Jakarta. Nyatanya, SD Cendikiawan, sekolah dasar tempat Kayla mengajar memiliki luas dua kali lipat lebih besar dari Chandra Buana.

Murid-murid dari sekolah dasar kelas kakap itu rata-rata adalah anak-anak konglomerat atau pejabat. Kebanyakan mereka memiliki darah campuran dari kedua orang tua mereka. Atau bahkan memang mereka berasal dari negara lain dan memilih menetap di Indonesia untuk urusan orang tua mereka.

"Dek, Kakak lama ya?"

Shaka menoleh dan mendapati kakaknya dengan seragam batik hijau khusus guru dari sekolah itu. Kerudungnya menutupi sampai bawah dada. Wanita itu menggunakan kacamata minus yang menambah kesan jenius dalam casing muslimah.

"Aku juga baru sampe kok, Kak," jawab Shaka seraya mengulurkan helm kepada Kayla.

"Makasih," ucap Kayla sembari memakai helm dari Shaka.

"Kakak nggak malu dijemput Shaka pake motor bebek?" Shaka terkekeh.

Kayla memerhatikan kanan dan kirinya yang ramai dengan anak didiknya yang sedang mengantri untuk masuk ke dalam bus sekolah. Sistem full day school membuat mereka pulang lebih sore dari anak SMA. Mereka memerhatikan Kayla yang baru saja memakai helm dan hendak naik ke boncengan Shaka dengan heran.

"Kenapa harus malu?"

"Dilihatin murid-murid Kakak tuh. Pasti mereka mikir, guru aku kok kampungan banget mau-maunya naik motor butut," jelas Shaka.

Kayla tertawa anggun dengan menutup mulutnya dengan telapak tangannya.

"Aneh kamu, Dek. Mereka masih kecil, mana ada pikiran kayak gitu. Palingan mereka malah pengen juga naik motor antik kamu ini. Orang tua konglomerat mereka mana punya motor bebek kayak punya kamu," jawab Kayla santai.

Shaka menyusul tawa Kayla. Padahal mulanya dia serius. Ia kira Kayla bakal malu dijemput pakai motor bebek sementara mobil Kakaknya sedang di bengkel. Biasanya Kayla berangkatlah dengan mobil yang dibelinya sendiri dengan jerih payahnya. Tapi karena mobil itu perlu servis, jadilah Kayla minta dijemput. 

Sedangkan Shaka, dia masih nyaman dengan motor bebek yang dia miliki sejak kelas tiga SMP. Motor yang dibeli dengan gaji awal Kayla saat pertama kali mengajar di SD itu setelah lulus kuliah.

"Kamu nggak ada niat buat ganti motor, Dek? Kakak liat anak-anak sekarang pada pake motor-motor gede itu deh," tawar Kayla saat mereka sudah berada di perjalanan pulang.

Shaka menggumam untuk mencari jawaban.

"Enggak dulu deh, Kak."

"Kenapa?"

"Sayang motor ini. Motor ini kan bukti dari perjuangan Kak Kayla setelah melewati berbagai rintangan sejak Mama Papa meninggal," jawab Shaka sendu.

Kayla tersenyum penuh arti. Beruntung dia memiliki adik yang sangat menghargainya. Shaka adalah sosok adik yang tidak pernah protes dengan apa yang ia berikan sejak Mama Papa mereka meninggal dan otomatis Kayla menjadi kepala keluarga.

Kehidupan mereka dulu tidak semulus saat ini. Orang tua mereka meninggal saat Kayla baru masuk kuliah dan Shaka baru duduk di kelas enam SD. Kayla harus mati-matian mengejar beasiswa dan juga bekerja part time di sebuah toko oleh-oleh demi bisa membiayai sekolah Shaka. Beruntung Shaka masuk sekolah negeri yang tidak memerlukan biaya banyak. Untuk makan sehari-hari, mereka memanfaatkan tabungan kedua orang tuanya yang untungnya cukup sampai tiga tahun.

SHAKA FOR ZALFA (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang