Sejak malam itu, Zalfa menjadi sosok pendiam. Dia tidak akan keluar kamar kecuali saat makan malam, itupun karena paksaan Umi Alfina. Teman-temannya beberapakali berkunjung, tapi tetap tidak bisa mengubah mood Zalfa. Di lain sisi, Shaka sedang sibuk mengurus ini itu untuk kesiapan pemberangkatannya.
Besok adalah hari keberangkatan Shaka, hari yang sangat tidak ingin Zalfa temui. Ingin rasanya Zalfa minum obat tidur dan melewati hari itu, sampai dia tidak akan bertemu Shaka lagi sampai beberapa waktu.
Tok tok tok
Zalfa mengalihkan pandangannya dari jendela kamar ke arah pintu kamar. Umi Alfina masuk tanpa diminta dengan membawa nampan berisi makanan.
"Makan dulu, Jal," ucap Umi seraya meletakkan nampan itu di nakas.
Umi Alfina berjalan mendekati Zalfa lalu duduk di ranjang, di samping Zalfa. Tangan Umi terulur mengusap kepala Zalfa penuh sayang. Zalfa terlena dengan kelembutan Umi dan akhirnya ia menyandarkan kepalanya ke pundak sang umi.
"Tadi Shaka datang," ungkap Umi.
Sontak Zalfa mengangkat kepalanya, menatap umi dengan matanya yang sayu.
"Kapan? Kenapa nggak bilang Zalfa?"
Umi Alfina mengangkat sudut bibirnya ke atas. Dua tangannya ia letakkan di bahu Zalfa.
"Tadi pagi banget, habis subuh."
Zalfa menghela nafas dengan pelan. Bahunya melorot dan seketika dia melemas. Ia tidak bermaksud meragukan perasaan Shaka, tapi dia tidak habis pikir dengan Shaka yang bahkan sampai saat ini betah dengan kesibukannya tanpa memberi kabar. Padahal sebentar lagi mereka akan berpisah.
"Zalfa Derina Berlian, anak Umi paling cantik, kuat, dan berani. Umi yakin kamu dan Shaka bisa melewati ini semua," Zalfa menundukkan kepalanya dalam ketika mendengar ungkapan Umi Alfina. Apa ia terlihat terlalu menyedihkan sampai Umi yang biasanya gemar menggodanya sekarang berbalik menghiburnya?
"Kamu mau tau nggak tadi pagi Shaka bilang apa?"
Zalfa masih menunduk dalam. Bahunya tiba-tiba bergetar. Inilah kenapa dia lebih senang orang lain menggodanya di saat ia punya masalah, karena Zalfa terlalu malas memerlihatkan kelemahannya pada orang lain.
"Shaka bukan enggak sayang kamu, Zal. Justru itu dia sangat sayang sama kamu, makanya dia nggak nemuin kamu hampir seminggu ini," lanjut Umi.
"Shaka nggak mikirin perasaan Zalfa," ucap Zalfa di sela isakannya.
Umi Alfina membawa Zalfa dalam pelukannya. Tangannya mengusap kepala sampai punggung Zalfa dengan kasih sayang.
"Nggak begitu, Zalfa. Shaka mikirin perasaan kamu banget loh. Justru sebaliknya, kamu mikirin perasaan Shaka nggak?"
Nafas Zalfa tercekat. Apa benar selama ini Zalfa hanya peduli dengan perasaannya sendiri tanpa peduli perasaan Shaka? Apa pribadi egois Zalfa tanpa sadar masih melekat?
"Zalfa, Shaka itu sama beratnya dengan kamu. Dia juga sedih karena ia harus pergi meninggalkan semuanya. Bukan hanya meninggalkan kamu, tapi kakaknya, teman-temannya, tanah kelahirannya. Sadar atau enggak, posisi Shaka lebih berat daripada kamu," lanjut Umi.
Zalfa melepaskan diri dari pelukan Umi Alfina dengan pipi berurai air mata. Isakannya masih terdengar tapi tidak sekeras saat pertama.
"Seharusnya kamu sebagai orang yang paling dia sayangi, kamu dukung dia. Kamu semangati dia, tanamkan di pikiran dia kalau kamu benar-benar ikhlas membiarkan dia mengejar mimpinya. Supaya dia bisa fokus menjalani pendidikannya di sana."
"Zalfa egois ya, Mi?" cicit Zalfa.
Umi Alfina kembali tersenyum tipis, kedua tangannya menggenggam telapak tangan Zalfa yang terasa dingin dan kaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHAKA FOR ZALFA (REVISI)
Ficção AdolescenteZalfa, siswi begajulan nomor satu seantero Chandra Buana tiba-tiba menjelma jadi sosok bidadari surga dibalik balutan kerudungnya. Kata orang hijrah Zalfa cuma pelampiasan setelah sayap cintanya dipatahkan begitu saja. Kata orang hijrah Zalfa hanya...