Setelah semalaman begadang karena tragedi laksa, Zalfa bangun dengan wajah kusut. Terlihat lingkaran hitam di sekitar kelopak matanya. Ucapan Umi kemarin terngiang di kepala Zalfa.
Dengan langkah yang gontai Zalfa masuk ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan menjalankan dua rakaatnya.
Selesai mengucap salam, Zalfa melirik jam dinding. Baru pukul setengah lima. Sesuatu terlintas di benak Zalfa. Zalfa harus bisa menjadi anak yang berguna setelah ini, Zalfa berjanji. Mungkin sedikit telat, tapi Zalfa yakin dirinya bisa menjadi seseorang yang dibanggakan.
Setelah melepas mukenanya, Zalfa beranjak menuju dapur. Terlihat di sana Umi-nya sedang memasak. Zalfa hendak mendekati Uminya untuk membantu, tapi ia sadar dirinya sangat tidak berbakat dalam bidang itu. Bisa-bisa kali ini bukan ketumpahan kuah laksa lagi, melainkan minyak panas.
Mencari alternatif lain, Zalfa pun memilih mengambil sapu dan kemoceng. Oke, mungkin bersih-bersih rumah menjadi langkah pertama Zalfa.
Dia mulai membersihkan debu-debu yang ada di meja, kursi, buffet, dan jendela dengan kemoceng. Lalu setelah itu baru menyapunya.
"Huachihhh!"
Zalfa menggosok hidungnya yang terasa gatal karena debu-debu yang hinggap di sana. Karena tidak ingin hal itu mengganggunya, Zalfa pun mengambil masker terlebih dahulu di kamarnya untuk menutup hidungnya.
Sementara Umi-nya masih sibuk di dapur, Zalfa hanya membersihkan teras sampai ruang tengah. Setelah merasa sudah bersih, kali ini Zalfa mengepel lantai. Biar dapat totalitasnya dong.
"Zalfa?"
Zalfa menoleh, ia menyengir lebar saat mendapati Abi Zaki baru pulang dari acara jogging. Rutinitas hari minggu Abi Zaki.
"Baru pulang, Bi?" tanya Zalfa dengan cengiran khasnya.
Abi Zaki tidak menjawab. Dia masih cukup tercengang mendapati anak perempuan tunggalnya yang biasanya bangun jam sepuluh kali ini berhasil bangun di saat matahari masih malu-malu untuk muncul. Ditambah penampilan acak-acakan Zalfa dengan kain pel di tangannya. Di tambah masker yang Zalfa pakai.
"Kamu ngapain, Nak?" tanya balik Abi Zaki masih dengan ketakjubannya.
Zalfa mengangkat kedua alisnya. Betapa ia tidak menyangka Abinya akan setakjub ini mendapatinya bersih-bersih rumah.
"Bersih-bersih, Bi. Pumpung hari minggu," jawab Zalfa dengan senormal mungkin.
Abi Zaki tersenyum lebar. Tangannya terulur menepuk ujung kepala Zalfa pelan. Zalfa tersenyum tipis mendapatinya.
"Buatkan Abi kopi bisa?" tanya Abi Zaki.
Zalfa tercengang. Membuat kopi artinya ia harus berhadapan dengan air panas lagi. Traumanya dengan kuah laksa kemarin masih membekas pastinya. Tapi tidak apa, Zalfa akan mencobanya.
"Bisa, Bi."
"Ya sudah Abi tunggu di gazebo," ucap Abi Zaki.
Abi Zaki berlalu menuju taman belakang rumah yang terdapat gazebo sementara Zalfa menyelesaikan acara mengepelnya yang tinggal sedikit lagi selesai. Baru setelah itu Zalfa ke pantry untuk menyeduhkan kopi untuk Abi Zaki.
Problematika terjadi, Zalfa tidak mengerti takaran membuat kopi. Selama ini dia tidak pernah membuatnya. Biasanya Zalfa hanya minum kopi saset yang ukuran pas satu gelas. Atau kopi-kopi yang dia beli di kafe dan tempat-tempat yang menjual kopi siap minum lainnya.
Dengan mengucap basmalah, Zalfa menuangkan dua sendok bubuk kopi lalu satu sendok gula. Setelah itu baru ia menuang air panas. Buah kehati-hatiannya karena trauma, airnya bisa masuk ke dalam cangkir tanpa cela. Tanpa meluber kemana-mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHAKA FOR ZALFA (REVISI)
Novela JuvenilZalfa, siswi begajulan nomor satu seantero Chandra Buana tiba-tiba menjelma jadi sosok bidadari surga dibalik balutan kerudungnya. Kata orang hijrah Zalfa cuma pelampiasan setelah sayap cintanya dipatahkan begitu saja. Kata orang hijrah Zalfa hanya...