F O U R T Y F O U R

52 8 0
                                    

"A ... Akmil?"

Shaka menghela nafasnya dalam-dalam. Ia mengarahkan sorot dua matanya pada manik mata Zalfa yang terlihat sayu. Kemudian Shaka mengangguk dua kali.

Zalfa menutup mulut yang tanpa sadar terbuka. Ia mengalihkan pandangan dari Shaka. Kenyataan yang tiba-tiba menyingkap begitu saja tanpa aba-aba membuatnya shock.

"Kenapa harus di sana?" tanya Zalfa dengan nada dingin.

"Ayahku yang minta, Zal. Setahun yang lalu teman Ayahku, Om Dendi, kasih tau aku kalau Ayah pernah ngomong sama dia sebelum Ayah meninggal bahwa Ayah pengen aku melanjutkan pendidikan di sana, sama seperti Ayah dulu. Ayah pengen aku melanjutkan langkahnya menjadi abdi negara," terang Shaka.

Zalfa menggigit bibir bagian dalamnya dengan kuat, sebisa mungkin ia menahan gejolak kesedihan yang menyesakkan dadanya, setidaknya sampai Shaka selesai bicara.

"Dan beberapa hari lalu Om Dendi datang lagi, ia menawari aku untuk masuk di sana. Om Dendi sendiri yang akan bantu mengurus semuanya," lanjut Shaka.

"Kamu tau kan kalau di sana itu sangat ketat, bahkan bawa ponsel aja nggak boleh, terus gimana kita mau komunikasi?" cicit Zalfa.

Bibir Shaka melipat ke dalam. Untuk kesekian kalinya suara helaan nafas terdengar. Sementara itu Zalfa kini memberanikan diri menatap Shaka lagi, mencari kebenaran atas apa yang dikatakan Shaka. Bagaimanapun dia tau bagaimana ketatnya peraturan di Akademi militer itu. Apalagi markas Akmil ada di Magelang, Jawa tengah yang pastinya mereka akan terpisah jarak.

"Aku udah pikirin ini sejak lama," ucap Shaka dengan sangat berat.

Zalfa mengalihkan pandangannya lagi. "Jadi ini alasan kamu selalu mengelak waktu aku tanya mau kemana setelah lulus?"

Shaka mengangguk dua kali. Terus terang saja, Zalfa kecewa. Harapannya yang begitu besar agar bisa tetap bersama-sama dengan Shaka sirna sudah dengan apa yang baru dikatakan Shaka.

"Kenapa nggak bilang dari dulu?"

"Aku takut semakin ragu," jujur Shaka. "Jujur, Zal. Kelemahanku sekarang ini adalah kamu dan Kak Kayla. Melihat kamu sedih, nangis, sakit, adalah sesuatu yang menakutkan. Aku takut semakin ragu untuk melakukan amanah dari Ayah kalau aku melihat kamu nangis dan nggak ikhlas melepas kepergianku nanti."

Wajah Zalfa menyendu, tidak ada kata apapun lagi yang bisa menandingi kalimat Shaka yang menyakitkan sekaligus manis. Akhirnya air mata pun dengan terpaksa luruh diiringi isakan dari mulut Zalfa. Zalfa menggeleng pelan sembari menutup mulut untuk memelankan suara isakannya.

Melihat itu Shaka pun gelagapan. Memberitahu Zalfa akan rencananya ini mungkin sudah ia pikirkan matang, tapi ada satu hal yang Shaka tidak pikirkan. Tentang tempat, seharusnya Shaka tidak mengatakannya di warung bakso, sehingga tidak ada orang yang bisik-bisik karena melihat Zalfa menangis.

"Jangan nangis, nanti cantiknya luntur loh," ucap Shaka.

Zalfa menggeplak lengan Shaka dengan keras, bisa-bisanya di saat yang sedih seperti ini Shaka malah ngelawak.

"Kamu tega mau ninggalin aku. Katanya kamu minta agar aku nggak hilang, tapi kamu yang bakal hilang, Ka!" isak tangis Zalfa semakin parah, bahkan sekarang diiringi dengan sesenggukan.

"Aku nggak bakal hilang, aku cuma pergi sebentar untuk kembali pulang, Zal. Aku minta kamu jangan hilang, aku mau kamu mengantar aku pergi dan menyambut aku pulang."

"Kalau kamu ketemu taruni di sana yang lebih cantik dari aku gimana? Kalau kamu suka sama cewek lain gimana? Aku nggak mau, Shaka," isak Zalfa sedikit mereda dengan usapan Shaka di lengannya.

SHAKA FOR ZALFA (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang