00.19. : Happiness (?)

1.6K 218 25
                                    

Javier Narendra Aditama.

Semua orang mengenalnya. Sosok sempurna yang selalu dielu-elukan banyak orang. Bagi semua orang, seorang Narendra adalah definisi dari kesempurnaan. Dia tampan, tinggi, pintar, ramah, dan masih banyak lagi keistimewaan yang lainnya. Jangan lupakan juga fakta jika dirinya lahir ditengah-tengah keluarga berada. Hal yang membuat semua orang mendamba kehidupan serupa dengannya.

Tapi, asal mereka tahu saja. Kesempurnaan yang selalu mereka dambakan itu tidak lebih dari sekedar kutukan bagi Narendra.

Hah, hidup enak katanya?. Yang ada hidupnya itu penuh dengan tekanan dan juga ambisi dari kedua orang tuanya. Jika bisa meminta dirinya enggan dilahirkan ditengah-tengah keluarga yang menuntut segala kesempurnaan seperti ini. Namun, faktanya dia tidak bisa menolak takdir yang telah Tuhan berikan. Jalan satu-satunya adalah menjalaninya, entah kita mau atau tidak.

Selama ini Narendra berhasil memenuhi semua perintah orang tuanya. Peringkat pertama, ketua OSIS, ikut berbagai lomba baik akademik maupun non-akademik, dan lainnya. Selama ini seorang Narendra berhasil menjadi boneka orang tuanya. Kehidupannya diatur sedemikian rupa, tidak boleh gagal dalam hal apapun, dan harus sempurna dalam segala bidang.

Tapi, bukankah dirinya juga manusia biasa?. Manusia yang bisa melakukan kesalahan dan juga gagal?. Hari ini, seorang Javier Narendra Aditama membuktikan bahwa dirinya juga manusia biasa yang tidak melulu selalu menjadi nomer satu.

"Maaf ya, Naren. Saya tahu kamu pintar, tapi hasil seleksi kemarin tidak bisa diganggu gugat lagi, hanya siswa dengan peringkat tiga besar di tiap-tiap mapel saja yang bisa mewakili sekolah. Saya permisi dulu."

Senyum yang sejak tadi ia pertahankan luntur sudah begitu mendengar penuturan wanita paruh baya berkaca mata kotak itu. Helaan nafas panjang keluar dari mulutnya, detik berikutnya kakinya melangkah gontai keluar dari ruang guru.

Hah, tiga besar ya?.

Kakinya berhenti, tepat didepan sebuah papan pengumuman. Papan tempat hasil seleksi yang beberapa waktu lalu ia ikuti terpampang nyata didepannya. Benar katanya kemarin, adik-adik kelas mereka otaknya tidak bisa dianggap enteng. Buktinya tiga besar tiap-tiap mapel kebanyakan didominasi oleh anak-anak kelas 10, dan hanya beberapa nama saja dari anak kelas 11 yang mengisinya. Salah satunya...

Rere.

Naren tidak tahu seberapa besar kapasitas otak anak tunarungu dan juga tunawicara itu. Tapi, nilainya nyaris sempurna jika dibanding dengan siswa lainnya. Anehnya, anak sepintar Rere tidak pernah bisa menduduki peringkat satu.

"Wah, apa-apaan ini?. Narendra kalah sama si budek ternyata," kepala Naren menoleh ke samping, rahangnya mengeras kala melihat sang kembaran yang ikut menatap papan pengumuman dengan pandangan remeh.

"Bacot," Naren merespon singkat, mendengus kesal. Sementara Jeno, si kembaran tidak tahu dirinya itu terkekeh geli melihat respon Naren.

Jeno menghela nafas, menatap kearah papan pengumuman dengan seksama. Menatap satu nama yang tertera di antara puluhan anak yang mendaftar sebagai perwakilan OSN di mapel Matematika. Ada nama kembarannya, tepat di nomer ke empat. Hm, miris sekali, batinnya.

"Gue bisa bantuin lo masuk ke tiga besar kalau lo mau," kalimat itu meluncur sempurna dari bibir Jeno. Kalimat yang berhasil membuat Naren kembali menolehkan kepalanya sambil mengerutkan kening kala sang kembaran berkata demikian.

"Hah?," Jeno mendengus, ikut memalingkan wajah demi bisa melihat ekspresi kembarannya yang cengo. Hm, jelek sekali.

"Lo kelihatannya udah ketularan budek ya kelamaan bergaul sama si Rere," Jeno menjitak kepala Naren, sementara Naren mendengus lagi. Kembarannya ini memang benar-benar menyebalkan.

Dear BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang