00.06. : Not

1.6K 270 4
                                    

Pendengarannya rusak, semua orang tahu hal itu dan hal itulah yang membuat dirinya menjadi bahan bullyan sejak dulu. Rere masih ingat saat detik-detik mobil berkecepatan tinggi melaju kearahnya dan menabrak tubuh kurus berbalut seragam taman kanak-kanaknya, ia terpental dan kepalanya dengan keras menghantam aspal jalan.

Sebenarnya hanya itu yang Rere ingat, karena setelahnya ia tidak sadarkan diri. Tahu-tahu saja saat ia bangun, tubuhnya sudah berada di atas brankar rumah sakit dengan perban melilit kepala dan juga selang infus yang menancap di punggung tangan.

Saat itu ia sama sekali tidak sadar bahwa salah satu inderanya rusak, namun lama kelamaan ia merasakan sesuatu yang aneh pada kedua telinganya. Ia sadar, jika dirinya tidak bisa mendengar dengan normal lagi, ia bahkan tidak bisa mendengar dengan jelas saat berada ditempat yang ramai. Hanya suara kecil nyaris seperti bisikan dan kadang tidak terdengar.

Berkat peristiwa itu Rere kehilangan masa kecilnya yang menyenangkan. Perlahan teman-temannya menjauhinya, katanya enggan berteman dengan orang budek yang hanya bisa menyusahkan orang lain, belum lagi anak-anak nakal yang gencar mengganggu dirinya.

Beruntung saat ulang tahunnya yang ke-6 kakeknya memberikan sebuah hadiah yang sangat berharga untuknya. Pria tua itu tersenyum manis waktu itu, tangan keriput miliknya membuka kotak yang hanya ditatap oleh Rere kecil dengan wajah penasaran.

"Ini untuk Rere, sini kakek pasangkan biar Rere bisa mendengar lagi," mata Rere mengerjap kala benda didalam kotak yang dibawa kakeknya dipasangkan ke telinganya.

Rere ingat saat benda itu telah terpasang sempurna di telinganya, suara tawa renyah sang kakek lah yang pertama kali ia dengar. Matanya membulat sempurna dan seolah tidak percaya dengan apa yang terjadi padanya, Rere menoleh menatap kakeknya yang terkekeh gemas melihat ekspresinya.

"Rere bisa mendengar kakek?," Rere mengangguk antusias saat kepalanya diusap dengan penuh kasih sayang oleh kakeknya.

"Maasih akek," Pria tua itu tertawa kecil saat Rere memeluk pinggangnya sambil mengucapkan terima kasih kepadanya, walau kata yang diucapkan sama sekali tidak bisa dipahami kendala Rere juga belum lancar berbicara padahal usianya sudah menginjak 6 tahun.

Ah, Berkat kecelakaan itu juga Rere menderita Disartria Spastik, atau gangguan bicara yang muncul karena  cedera kepala berat saat kecelakaan.

Rere menghela nafas panjang mengingat semua hal itu, begitu banyak kekurangan dalam dirinya. Bisa dikatakan ia punya nasib yang buruk, tapi apa boleh buat?. Ia tidak bisa menyalahkan siapapun atas apa yang menimpa dirinya bukan?. Sekarang yang dapat ia lakukan hanyalah menerima dengan lapang dada dan bersyukur atas apa yang Tuhan berikan padanya.

"Ngelamun aja re?," Rere mengerjap saat bahunya dirangkul dengan akrab dari samping. Kepalanya menoleh demi bisa melihat sang pemilik tangan yang kini melingkar di bahunya.

Naren.

Sudah ia duga, siapa lagi kalau bukan Naren?.

Ia tersenyum tipis dan kembali sibuk menatap lurus ke depan, tepat kearah lapangan basket tempat regu tim basket tengah berlatih dibawah panas terik matahari untuk menghadapi turnamen yang akan diadakan beberapa minggu lagi.

Manik mata hitam legam miliknya bergerak mengikuti pergerakan bola basket yang kerap kali melambung dan berpindah dengan cepat. Ia kembali menghela nafas kala mendengar suara peluit pertanda permainan di akhiri. Dapat ia lihat seluruh pemain yang menepi dan mulai mengistirahatkan diri setelah berjam-jam latihan.

"Re, ikut yuk," Rere menoleh berganti menatap Naren yang tersenyum lebar memamerkan deretan gigi rapinya kearahnya. Kening Rere berkerut membuat Naren tertawa kecil melihatnya.

Dear BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang