00.17. : Selamat Makan

1.4K 239 36
                                    

Denise mengernyitkan dahinya ketika mobil yang ia tumpangi masuk kedalam pekarangan rumah. Sepasang netranya menatap kearah rumah yang kebetulan sekali malam ini tampak lebih hidup dari biasanya. Terbukti dengan lampu pintu ruang tamu yang terbuka dan juga lampu-lampu taman yang telah dinyalakan.

Perasaan aneh tiba-tiba saja muncul dalam dada ketika kakinya yang berbalut sepatu kets itu memijak halaman rumahnya. Entah kenapa, ada sedikit rasa rindu dalam relung hatinya kala mendapati rumah yang selama ini kosong dan beku itu mendadak seperti mendapatkan kembali kehidupannya.

Kakinya melangkah perlahan, mendekat dan memijak dinginnya lantai marmer rumahnya. Netranya mengedarkan pandangan, memindai setiap inci teras rumahnya. Tidak ada yang aneh. Tapi, entah kenapa ada sesuatu yang terasa berbeda menghiasi kediamannya saat ini. Sesuatu yang berhasil membuatnya seolah benar-benar pulang?, Mungkin.

Denise menggelengkan kepalanya. Berusaha mengabaikan hal tersebut. Cowok itu lebih memilih melepas sepatu kets yang sejak tadi membalut kakinya. Menaruhnya di rak yang memang disediakan didekat pintu utama dan masuk kedalam.

Niatnya sih, ia ingin cepat-cepat naik keatas. Menuju kamarnya dan menghabiskan malamnya dengan tumpukan tugas-tugas yang tidak manusiawi dari dosennya. Tapi, ia urung ketika tanpa sengaja netranya menangkap kondisi dapur yang malam ini tampak terang benderang. Lengkap dengan suara alat-alat dapur yang beradu, juga wangi makanan yang menguar memenuhi seluruh penjuru rumah.

Dan tanpa sadar kakinya melangkah ke sana, alih-alih melangkah menuju ke kamarnya di lantai dua. Langkahnya terhenti, tepat di depan dapur dan detik itu juga netranya menangkap sosok mungil yang sedang meletakkan mangkuk di atas meja.

Sejenak Denise mematung. Netranya hanya mampu menatap kosong kearah sosok mungil yang kini juga menatapnya dengan tatapan kagetnya. Namun, detik berikutnya ia kembali sadar bertepatan dengan pekikan girang tidak jelas yang keluar dari mulut sosok mungil itu.

"Kak Enis dah ulang,"

Denise mendecih, mengalihkan tatapannya dari sosok tersebut. Mengumpat tanpa suara saat sosok mungil itu melompat dan menarik tangannya dengan tanpa persetujuan darinya. Tapi, anehnya dia diam saja. Menurut pada sosok tersebut bahkan ketika sosok tersebut mendudukkan dirinya di atas kursi. Lalu tiba-tiba saja menyodorkan sepotong kertas sebagai sarana komunikasi. Sepotong kertas yang langsung disambut oleh Denise tanpa banyak tanya.

'hari ini aku lagi punya banyak uang hehe. Aku buatkan mie ayam juga buat kakak, kita makan malam bersama ya?'

Denise menatap kertas putih berhias tulisan tangan sosok didepannya itu juga mangkuk berisi mie ayam yang masih mengepulkan asap didepannya itu bergantian. Tidak lupa dengan wajah polos yang menyunggingkan senyum di depannya. Hal yang entah kenapa membuat hatinya menghangat tanpa sadar. Tapi, juga satu hal yang membuat dirinya muak tanpa sadar.

Namun, sekali lagi anehnya ia masih tetap ada di sana. Duduk berhadapan dengan sosok itu yang masih setia menyunggingkan senyum di wajah polosnya. Lebih anehnya lagi ia meraih sendok yang ada didepannya dan mengaduk mie ayam yang terhidang didepannya.

"Selamat makan,"

Denise tertegun sejenak saat kata-kata tanpa cacat itu berhasil memenuhi rungunya. Sedetik kemudian ia mendongak hanya demi bisa melihat sosok mungil itu mulai memakan mie ayamnya dengan lahap tanpa peduli tatapan Denise padanya.

Denise masih dengan posisinya. Duduk sambil memegang sendok ditangannya dengan erat. Sementara, sepasang netranya menatap sosok mungil yang dengan khidmat menikmati mie ayam. Netranya tidak lepas dari setiap pergerakan yang dilakukan oleh sosok mungil itu. Menatapnya lekat-lekat dan berusaha merekam bagaimana rupa sosok yang katanya adiknya itu.

Dear BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang