00.14. : Hujan

1.4K 244 33
                                    


Kaki-kaki itu berjalan cepat di trotoar jalan. Sedikit terburu-buru karena berkali-kali kilat juga suara guntur terdengar menggelegar di atas sana. Tangan mungilnya mengeratkan jaket yang ia kenakan, menghalau angin malam yang menerpa tubuh kurusnya.

Sebuah helaan nafas lolos dari mulutnya kala perlahan rintik-rintik air hujan jatuh dari langit. Mula-mula sedikit, tapi seiring berjalannya waktu rintik-rintik air hujan itu semakin deras jatuh ke atas tanah. Membasahi setiap yang ada disana, tidak terkecuali dirinya yang kini tengah kalang kabut mencari tempat untuk meneduh.

Beruntung tidak jauh dari sana berdiri toko yang telah tutup, jadi ia tidak sungkan untuk numpang berteduh disana. Ia menggosokkan kedua telapak tangannya, berusaha menghangatkan diri dengan panas yang dihasilkan. Sesekali meniupnya agar udara panas dari hembusan nafasnya cukup untuk membuatnya hangat.

Kedua netra rubahnya menatap kearah jalan aspal yang malam ini sangat sepi. Sejauh ini yang ia lihat hanya ada dirinya dan juga seekor kucing yang meringkuk didekat tempat sampah.

Ia kembali menghela nafas panjang, sedikit menyesal karena meminta turun ditengah jalan alih-alih membiarkan Senja yang baru ia ketahui adalah pamannya itu mengantarkan dirinya hingga sampai rumah. Tapi, tidak masalah karena ia harus mampir untuk kerja dulu di taman.

Rere berjongkok, menaruh tas setengah basahnya di atas lutut dan menyilangkan kedua tangannya. Ini sudah jam sebelas malam, seharusnya ia pulang jam tujuh karena memang waktu kerjanya hanya sampai pada jam itu saja. Tapi, ia merasa tidak enak dengan Kharis. Jadilah dirinya mengganti jam kerjanya hingga baru keluar pukul sepuluh malam.

Ia menghela nafas, memakai kupluk hoodienya dan menjatuhkan kepalanya kedalam lipatan tangan. Netra serupa rubah miliknya perlahan terpejam, menikmati hembusan angin malam yang dingin dan melepas lelahnya barang sebentar saja.

Terhitung sudah hampir mencapai lima belas menit ia berada disana. Berteduh dari derasnya air hujan yang turun membasahi bumi. Dan kala matanya kembali terbuka hujan sudah sedikit reda, hanya menyisikan rintikan gerimis yang turun dari atas sana.

Rere bangkit, sedikit meregangkan tubuhnya yang pegal berkat posisinya yang tidak nyaman tadinya. Ia menyandang tas hitamnya dipunggung, berjalan pelan keluar dari tempatnya berteduh. Ia berusaha mengeratkan jaketnya, mengahalau rasa dingin berkat terpaan angin malam yang entah kenapa akhir-akhir ini semakin dingin.

Beruntung sekali malam ini hujan tidak berlangsung lama, sehingga Rere bisa cepat bergegas pulang walaupun pada kenyataannya sudah sangat terlambat. Tapi, tidak ada yang mengharapkannya pulang bukan?.

Rere mempercepat langkahnya dan bertepatan dengan kakinya yang menginjak halaman rumah, hujan kembali turun dengan derasnya. Ah, nyatanya  asumsinya tentang hujan yang tidak lama salah. Angkasa hanya sedang berbaik hati membiarkan dirinya untuk pulang agar tidak terlalu lama meringkuk dengan keadaan menyedihkan di emperan toko.

Tapi, baginya sama saja. Dirumah atau di emperan toko, semua sama saja bagi Rere. Karena malam ini pintu rumahnya sudah terkunci dari dalam, tidak memberi izin padanya untuk berlindung dari dinginnya malam hari ini.

Rere cukup tahu. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas, dan tidak mau menunggu para penghuni rumah yang mungkin saja sudah pulas jatuh dalam alam mimpinya. Maka, bocah itu memilih untuk tidur diluar saja malam ini.

Ia duduk didepan pintu, memeluk kedua lututnya dan mengencangkan jaketnya yang setengah basah. Perlahan ia menaruh kepalanya diantara lipatan tangan yang melingkar memeluk lututnya. Berusaha memejamkan mata dan beristirahat dengan tempat seadanya malam ini.

Dirinya merasa sangat bersyukur atas hari ini, walaupun setiap detik dalam hari ini ia lalui dengan begitu berat, setidaknya hidupnya masih baik-baik saja. Hebat sekali ia berhasil melaluinya. Dan malam ini Rere banyak memanjatkan doa agar diberi kemudahan untuk melalui hari esoknya yang penuh kejutan.

                                          
🖤


Denise benci hujan. Banyak hal yang pemuda itu benci tentang hujan. Denise benci suara air yang jatuh dari langit dan menghantam bumi tanpa beban. Denise juga benci gemuruh yang selalu menyertai setiap tetes air yang jatuh ketanah. Yang lebih Denise benci lagi adalah sosok yang kini tengah meringkuk kedinginan diteras untuk menghindari air hujan itu.

Denise benci segalanya tentang sosok itu. Sosok yang sudah membuat dirinya berkenalan dengan pahitnya kehilangan. Dan dengan tidak tahu dirinya masuk kedalam hidupnya seolah ia tidak pernah melakukan apa-apa.

Padahal kelahirannya adalah sesuatu yang sangat tidak diharapkan oleh siapapun, kehadirannya adalah suatu hal paling Denise benci, dan eksistensinya adalah sesuatu yang paling ingin Denise musnahkan.

Pemuda masih ingat dulu waktu masih kecil. Ayah selalu melarangnya untuk dekat-dekat dengan anak itu. Katanya sosok itu adalah anak pembawa sial yang tidak sengaja ibunya lahirkan didunia ini. Denise kecil percaya-percaya saja dan berawal dari kata-kata doktrin ayahnya, rasa benci itu lambat laun muncul dan sekarang makin tak terbendung.

Tapi, entah kenapa juga hari ini hatinya dipenuhi rasa khawatir kala melihat sosok tersebut yang tengah meringkuk kedinginan diteras rumah. Ada keraguan dalam hatinya kala ia mengintip lewat kaca jendela ruang tamu dan mendapati sosok rapuh berbalut jaket hoodie setengah basah di depan pintu itu.

Dengan susah payah ia berusaha mengenyahkan rasa aneh yang perlahan hadir dalam hatinya itu. Sedikit ragu ia kembali menegakkan tubuhnya,  berbalik dan perlahan pergi menjauh dari pintu utama yang telah ia kunci rapat menuju kearah kamarnya dilantai dua. Berusaha mengabaikan rasa peduli pada sosok tersebut yang anehnya makin lama makin memenuhi setiap inci rongga dadanya.

Ia menghela nafas panjang, menutup pintu kamar dan memutuskan merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Kedua netranya menatap langit-langit kamar, menatap sendu dengan pikiran yang entah kenapa melayang entah kemana.

Sudah setengah dua belas dan ini adalah rekor si teratur Denise untuk masih tetap terjaga hingga larut seperti ini. Mungkin rasa khawatir yang tidak berdasar dalam hatinya.














🌤️

Akhirnya aku ada ide buat cerita ini. Hah, setelah sekian lamanya mentok tidak ada ide. Dan aku banyak-banyak mengucapkan terima kasih dan maaf bagi kalian yang sudah mau menunggu kelanjutan cerita ini.

Huhu....terharu banget akutuh😭.

Bonus, tapi gak boleh dibawa pulang:)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Bonus, tapi gak boleh dibawa pulang:)

Dear BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang