00.05. : Narendra

1.7K 282 7
                                    

Namanya Narendra Javier Aditama, atau biasa dipanggil Naren. Ketua OSIS tahun ini dan peraih berbagai macam prestasi bergengsi disekolah. Anaknya humble, banyak teman, dan ramah sekali. Hah, agaknya semua penduduk sekolah tahu dan mengenal sosok Naren, tidak terkecuali Rere.

Yah, Rere tahu Naren karena mereka teman satu klub dan jangan lupakan fakta bahwa sosok tinggi murah senyum itu yang menolong dirinya kemarin.

"Hai, Re mau keruang olimpiade bareng gak?," Rere tersentak kaget saat seseorang menyapanya. Ia menoleh dan tersenyum tipis saat menemukan sosok tinggi Naren berjalan disampingnya.

Koridor sekolah saat ini sudah lumayan sepi karena memang jam sekolah telah berakhir beberapa waktu yang lalu. Rere sendiri masih berada disekolah berkat kelas olimpiade yang sengaja ia ambil.

"Lo mau ambil buku dulu ya?," Naren bertanya saat Rere berjalan berlawanan arah dengan jalur yang seharusnya mereka ambil. Rere mengangguk mengiyakan sambil tersenyum tipis.

"Ayo gue temenin sekalian gue juga mau ambil buku," Sekali lagi Rere mengangguk mengiyakan dan membiarkan Naren membuntutinya.

Rere merogoh saku seragamnya dan mengeluarkan kunci lokernya dari dalam sana. Langkahnya terhenti tepat didepan lokernya yang tertutup rapat. Ia menghela nafas, memasukkan kunci tersebut dan memutarnya lalu sedetik kemudian membuka pintu loker tersebut.

Pintu loker terbuka menampilkan kondisi lokernya yang penuh dengan kertas-kertas dan juga sampah-sampah yang menumpuk didalamnya, bahkan dua buku tebal yang ia sengaja letakkan disana tidak terlihat karena saking banyaknya kertas dan sampah yang menutupi.

Ia menghela nafas panjang, mengulurkan tangan dan berusaha menyibak kertas-kertas dan juga sampah-sampah yang berada didalam lokernya itu untuk mengambil buku tebal disana.

"Ya ampun re, loker lo kotor banget sih?," Ia tersentak saat sosok Naren yang entah sejak kapan telah berada disampingnya sambil membawa buku tebal ditangan menepuk pundaknya.

Rere mengernyit berusaha memahami apa yang dikatakan oleh Naren barusan, sedetik kemudian ia tersenyum kikuk menggelengkan kepalanya pelan dan lanjut membersihkan lokernya dari sampah-sampah dan kertas-kertas yang ia sangat yakini berisi sumpah serapah dan cacian untuk dirinya.

Sebenarnya Rere tidak paham, kenapa para siswa lain memperlakukan dirinya dengan begitu buruk. Seperti hal ini contohnya, tidak sekali dua kali ia mendapati lokernya penuh dengan sampah seperti ini, atau peristiwa kemarin di kolam kodok. Ia tidak tahu apa salahnya hingga mereka melakukan hal itu padanya.

Ah, ia ingat semua perlakuan buruk ini ia dapat setelah mereka semua tahu bahwa ia adalah anak berkebutuhan khusus yang beruntung memiliki otak cemerlang hingga bisa bersekolah disekolah normal.

Memang salah ya ia terlahir seperti ini?, padahal bukan atas keinginannya terlahir dengan keadaan seperti ini, tapi mau bagaimana lagi, jika Tuhan sudah menggariskan takdir maka ia tidak bisa menentangnya bukan?.

Seulas senyum tipis tercetak diwajahnya kala Naren mengulurkan tangan, ikut membantu dirinya membersihkan lokernya. Dalam hati ia bersyukur setidaknya masih ada orang yang peduli dengannya, baginya itu sudah cukup.

"Lo sering dapat kayak ginian?," Naren bertanya, netra coklatnya melirik kearah Rere yang masih sibuk membuang sampah dan kertas tersebut kedalam tempat sampah.

Rere menoleh mengangguk pelan, sedangkan Naren menghela nafas panjang lalu menatap sendu kearahnya.

"Udah pernah minta loker baru?," Kembali Naren bertanya dan dibalas anggukan singkat oleh Rere. Tangannya masih sibuk memindahkan sampah dan kertas kedalam tempat sampah.

Naren mengangkat sebelah alisnya saat melihat Rere berusaha memberikan isyarat kepadanya dengan gerakan telapak tangan. Sedetik kemudian ia menghela nafas panjang paham dengan apa yang berusaha Rere sampaikan lewat gerakan tangannya.

"Lo harusnya gak diam aja re," Naren berkata tegas, sedangkan Rere hanya tertawa tanpa suara dan menutup pintu lokernya yang kini sudah bersih dari kertas dan sampah. Rere menarik tangan Naren mengajaknya untuk bergegas pergi menuju keruang olimpiade.

'Percuma saja mereka lebih banyak sedangkan aku sendirian'

Naren menggeleng cepat saat mengerti apa yang Rere sampaikan dengan bahasa isyarat. Sendirian?, Hey, tidak ada yang benar-benar sendirian di dunia ini bukan?.

"Gak!, Lo gak sendirian masih ada gue sebagai teman lo," Rere melebarkan mata menatap kearah Naren yang tersenyum manis disampingnya dengan tidak percaya.

"Kenapa?, Kaget banget kayaknya lo?," Naren mengerutkan alisnya kala melihat ekspresi terkejut Rere.

'kamu mau jadi temanku?'

Naren tertawa kecil dan menganggukkan kepalanya dengan mantap, lengannya yang panjang sekarang sudah melingkar di bahu sempit Rere.

"Kenapa gak mau?," Rere tersenyum kecil saat mendapati jawaban Naren. Ah, jadi masih ada yang mau berteman dengannya ya?. Sepertinya ia harus mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Tuhan setelah ini.

















Kira-kira siapakah Narendra?.
Hehe...vote dan komen yang membangun ya kakak.

Salam hangat dari saya.





Dear BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang