00.23. : Tujuan

952 124 38
                                    

Matahari bersinar cukup terik siang ini. Tapi, ia masih setia menunggu dipinggir lapangan voli sekolahnya. Sudah sejak tadi, sejak bel tanda sekolah usai berbunyi ia berada disana, sendiri sambil celingukan berharap orang yang ditunggu datang.

Senyuman manis merekah di bibirnya kala tak sengaja netranya mendapati sosok jangkung yang ia tunggu berjalan kearahnya. Ia berdiri dari posisi duduknya, melambaikan tangan dan sedikit melompat dengan antusias ketika sosok itu semakin mendekat.

"Maaf, rapat OSIS dadakan tadi, Re. Gak lama kan nunggu?," sosok jangkung itu Naren, baru saja datang dengan wajah penuh gurat lelah yang tercetak jelas disana. Kantung matanya menggantung dan kulitnya pucat, belum lagi cara berjalannya yang mirip mayat hidup.

Rere mengerjakan mata, menatap kearahnya dengan khawatir. Sosok yang lebih pendek itu dengan cepat menggerakkan jemarinya, tengah bertanya menggunakan bahasa isyarat.

"Kamu gak apa-apa?"

Naren menghela nafas, panjang dan berat saat menangkap maksud dari isyarat tangan yang di utarakan oleh Rere. Ia memaksakan senyuman, merangkul pundak yang lebih pendek dan melangkahkan kaki menuju kearah gerbang sekolah tanpa menjawab pertanyaan yang Rere berikan.

Lingkungan sekolah sudah lumayan sepi. Hanya anak-anak berkepentingan seperti OSIS dan anak-anak ekskul yang masih menetap. Di lapangan basket bisa Naren lihat Jeno tengah sibuk dengan teman-temannya tanpa peduli eksistensinya.

"Kita nunggu sopir dulu, ya?. Gue gak bawa motor soalnya," Naren mendudukkan diri di salah satu bangku yang memang sengaja di taruh di depan sekolah. Cowok jangkung itu menyenderkan punggungnya, sedangkan Rere ikut duduk disebelahnya sambil menatap cemas ke arahnya.

Demi apapun, Rere begitu cemas melihat kondisi Naren saat ini. Cowok itu bagaikan raga tanpa jiwa yang terpaksa melakukan hari-hari berat dan melelahkan, sangat berbeda dengan Naren yang biasanya terlihat ceria dan murah senyum juga hobi melawak.

"Naren baik-baik saja?"

Rere kembali bertanya dan sekali lagi kalimat tanya itu mendapatkan balasan berupa helaan nafas dan senyum terpaksa dari Naren.

"Gue baik-baik aja, Re. Gak usah khawatir," akhirnya kata-kata itu keluar dari mulut Naren. Terdengar pasrah dan berdusta ditelinga Rere. Namun, ia hanya mengerjap dan mengangguk sambil untuk yang terakhir kali menggerakkan jari-jarinya mengisyaratkan sebuah kalimat.

"Kalau ada masalah, jangan sungkan-sungkan buat cerita ke Rere, ya. Kita kan teman"

Naren terdiam. Menatap kearah Rere yang kini tengah tersenyum manis padanya. Senyuman yang entah kenapa akhir-akhir ini sering sekali membuatnya muak.

Naren tidak tahu kenapa sosok Rere sekarang di matanya bisa begitu menyebalkan. Padahal sosoknya tidak melakukan hal-hal aneh yang tidak disukainya. Namun, hati Naren berkata lain.

Sosok Rere jadi seratus persen menyebalkan di matanya saat ini. Entah apa penyebabnya, hal yang aneh.

Naren menghela nafas, mengacak rambutnya yang memang sudah acak-acakan. Wajahnya tampak lelah, sarat akan banyak persoalan yang menggunung di dalam kepalanya.

"Re, gimana rasanya bisa gabung olimpiade?," Naren bergumam, namun masih bisa ditangkap oleh Rere yang memang saat ini tengah memperhatikannya dengan khawatir.

Bocah kurus itu mengerjapkan mata perlahan. Bingung harus menjawab apa karena kalimat tanya random yang keluar dari mulut Naren. Ia terdiam selama beberapa saat, walau detik berikutnya ia tersenyum tipis dan mulai menggerakkan jari jemarinya guna membentuk kata demi kata.

'Rere senang, doakan Rere menang, ya.'

Naren tersenyum tipis. Ah, miris lebih tepatnya dengan jawaban Rere. Senang, ya?. Sayangnya ia tidak lolos dan itu sangat menyebalkan.

Dear BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang