00.10. : Peterpan

1.2K 241 1
                                    


Rere tidak pernah mengeluh mengenai banyak hal. Entah itu hidupnya, nasibnya, garis takdirnya yang buruk atau apapun. Baginya semua itu tidak ada artinya jika kita banyak-banyak bersyukur dan selalu merasa cukup atas apa yang Tuhan berikan.

Dan seperti saat ini ia tidak mengeluh masalah pekerjaan yang ia dapatkan. Segaris senyum lebar sejak tadi tercetak sempurna diwajahnya, membuat sosoknya terlihat seperti orang paling bahagia dimuka bumi ini walau nyatanya tidak begitu. Tangannya menggenggam puluhan balon warna-warni dan sebuah kostum Peterpan melekat sempurna membungkus tubuhnya.

Ini hari pertamanya bekerja dan ia sangat antusias akan hal itu. Netranya berbinar sedangkan kakinya sejak tadi tidak berhenti melangkah, terus berjalan menyusuri area taman bermain dengan riang. Senyumnya lebar semakin membuat aura penuh kebahagiaan melingkupi dirinya.

"Peterpan...Peterpan..." Ia berbalik dan tersenyum tipis kala mendapati sosok Marten yang mendekat kearahnya. Cowok itu kelihatannya baru pulang dari kampus dan belum sempat mampir ke rumah. Hal itu diperjelas dengan tas hitam yang menggantung di pundaknya dan juga muka kusut korban kuis juga tugas.

Marten merangkulnya dengan akrab membuat Rere sedikit tersentak dengan perlakuan yang Marten berikan. Hampir saja tubuh kurusnya terjungkal kedepan jika lengan Marten tidak menahannya.

"Kok lo jadi tukang balon?, Bukannya Kharis bilang lo ikut sirkus?," Marten mengernyitkan dahinya begitu sadar bahwa sejak tadi Rere membawa puluhan balon warna-warni ditangannya.

"Emm...ini asih bhagian ari irkus ak," jawabnya sedikit terbata. Namun, cukup untuk memberi penjelasan pada Marten.

"Oh gitu, eum...gimana hari pertama kerja?," Lagi, Marten melontarkan pertanyaan yang kali ini dijawab oleh Rere dengan acungan jempol dan senyum semringah diwajahnya seakan mengatakan 'mantap'.

Marten mengangguk-angguk, cukup puas dengan jawaban yang Rere berikan. Keduanya melangkah dan berhenti disalah satu stand makanan yang berada tidak jauh dari wahana komedi putar.

"Istirahat dulu, gue beliin makanan," Marten berkata saat menyadari dahi Rere berkerut bingung disampingnya.

"Tapi, arus kerja dulu," Rere menunjuk balon ditangannya sementara Marten menatapnya datar.

"Istirahat dulu, gue tahu lo kesini habis pulang sekolah belum sempet makan dan lo langsung kerja," Marten berkata santai, menerima pesanannya dan menarik tangan Rere menuju salah satu bangku didekat sana.

Rere menurut walau sedikit merasa tidak enak hati. Tapi, ia juga tidak bisa menolak ajakan Marten karena demi apapun apa yang dikatakan oleh Marten tadi itu benar. Sepulang sekolah tadi ia langsung pergi kesini, menemui Kharis yang terkejut dengan kedatangannya. Katanya ia datang terlalu cepat dari waktu yang dijanjikan, tapi mau bagaimana lagi. Dia sudah tidak sabar ingin segera bekerja.

"Makan dulu nanti lo sakit gak bisa kerja lagi," Marten menyodorkan sterofoam berisi makanan kearahnya.

Rere mengerjap menerimanya sambil meringis kecil. Satu tangannya masih menggenggam balon, sedangkan yang satunya menaruh sterofoam makanan dipangkuannya. Ia membukanya, menemukan seporsi nasi goreng yang mengepulkan asap beraroma khas ke rongga hidungnya.

Ia tersenyum tipis, tiba-tiba jadi teringat kakeknya yang maniak nasi goreng. Dulu waktu ia masih kecil, pria tua berwajah jenaka itu selalu mengajaknya makan nasi goreng ke warung Pak Dul. Biasanya jika ke taman hiburan seperti saat ini, pria tua itu juga akan memesan makanan yang sama, nasi goreng, sambil menungguinya yang tengah naik komedi putar.

Ah, komedi putar ya?. Kepalanya terangkat dan netranya membola begitu saja saat menyadari dirinya tengah duduk didepan wahana komedi putar. Ia mengerjap pelan menatap kearah wahana tersebut yang kini sedang sepi penumpang. Hanya ada beberapa anak kecil yang tampak riang menaiki wahana berputar tersebut.

Dear BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang