00.04. : Special

1.8K 289 3
                                    

Rere masih ingat kata bibi Marni, seorang yang sudah ia anggap sebagai ibunya pernah berkata bahwa dirinya adalah anak yang special. Awalnya Rere percaya dengan hal itu sampai saat ia menginjak bangku sekolah dasar barulah ia sadar semua yang dikatakan oleh bibi Marni salah.

Lucu sekali mengatakan dirinya special disaat indera pendengarannya rusak saat ia menginjak usia lima tahun berkat kecelakaan naas yang menimpa dirinya, tambah lagi jika ia masih tidak bisa berbicara dengan baik hingga saat ini.

Setidaknya Rere bersyukur karena dikaruniai otak cemerlang dan jauh di atas rata-rata, dengan itu ia bisa sedikit diterima oleh lingkungan sekolah dan juga teman-temannya. Hm, diterima ya?,nyatanya tidak juga karena sampai saat ini ayah dan kakaknya tidak pernah mau mengakui kehadirannya sebagai salah satu anggota keluarga.

Teman?, Dulu Rere selalu berandai-andai punya teman tapi nyatanya berkat kondisinya ia juga tidak mempunyai teman hingga detik ini. Yah, siapa sih yang sudi punya teman yang cacat?, Bukannya hanya menyusahkan saja?.

Rere menghela nafas berat saat seember air bekas pel menyiram tubuhnya dari atas, ia menunduk enggan mengangkat kepalanya karena demi apapun ia tahu bahwa sekarang dirinya jadi bahan olok-olokan siswa-siswa lainnya.

Belum puas hanya dengan menyiram dirinya dengan air bekas pel mereka para anak tidak punya hati itu kini beralih melemparinya dengan telur busuk dan juga tepung.

Rere menghela nafas panjang, berusaha melindungi dirinya dari lemparan telur busuk dan juga tepung itu menggunakan kedua tangannya. Ia tahu usahanya itu hanya berakhir sia-sia karena lihat saja keadaannya sekarang, sangat mengenaskan.

"Budek bau busuk!," Samar dapat ia dengar suara teriakan nyaring siswa-siswa perundung itu di indera pendengarannya ditambah dorongan-dorongan kurang ajar di kepalanya dan juga tendangan bebas yang mengenai kaki dan beberapa anggota tubuh lainnya.

"Bawa ke kolam kodok lah!,"

Suara tawa itu semakin menggema saat salah satu siswa mengusulkan agar menceburkan dirinya ke dalam kolam kodok. Tubuh kurus Rere tertarik pasrah, percuma ia meronta dan melawan karena jelas ia kalah jumlah dan tenaga.

Rere memejamkan matanya erat kala tubuhnya didorong paksa kedalam kolam belakang sekolah. Dingin dan kotor, itu pertama yang pertama kali Rere rasakan kala tubuh kurusnya bersentuhan dengan air kolam yang jarang sekali dibersihkan tersebut.

"Apa-apaan nih bubar bubar!," Kerumunan itu mendecak kesal kala salah satu siswa berteriak membubarkan mereka.

Rere masih menunduk dan berdiam diri didalam dingin dan kotornya air kolam, membiarkan anak-anak perundung itu melemparinya lagi dengan telur busuk untuk yang terakhir kali. Matanya melirik kearah kerumunan yang mulai membubarkan diri, bibirnya bergetar menahan rasa dingin air kolam yang menusuk kulitnya.

"Lo gak apa-apa?," Ia mendongak menatap sosok yang kini tengah mengulurkan tangannya berniat untuk membantunya keluar dari kolam kodok tersebut.

"Gue bantu naik," Rere mengerjapkan matanya perlahan, menerima uluran tangan sosok tersebut sebelum sosok itu menariknya keluar dari kubangan kolam kodok.

Narendra Javier Aditama. Oh, ternyata Narendra, Rere tidak asing dengan namanya karena memang si Naren ini terkenal berkat jabatannya sebagai ketua OSIS dan juga prestasinya di bidang akademik.

"Aduh baju lo kotor banget, mau gue pinjemin baju gue dulu gak gue bawa baju ganti kok," Rere tersenyum kaku dan menggeleng pelan sebagai balasan.

"Lo gak kedinginan?," Rere kembali menggeleng membuat Naren menghela nafas panjang menatap tubuh kurus Rere yang menggigil.

"Gue antar pulang ya?," Naren menuntun Rere untuk berjalan, sedangkan Rere hanya terdiam menatap lurus ke depan tanpa berniat membalas ucapan Naren.

"Tas lo mana?," Rere mengerjapkan matanya mengedarkan pandangan ke sekeliling lapangan tempat dimana ia disiram air bekas pel sebelum di arak menuju kolam kodok. Telunjuknya mengarah pada salah satu sisi lapangan tempat tas hitamnya berada.

Naren berlari kecil menghampiri tempat yang tadi ditunjuk oleh Rere dan meraih tas tersebut sebelum kembali ketempat Rere berdiri.

"Ayo gue antar pulang," Naren menarik tangan Rere. Namun, langsung ditepis olehnya membuat Naren mengerutkan dahinya bingung.

"Kenapa?,"

Rere menggerakkan tangannya berusaha memberi isyarat kepada Naren bahwa ia ingin pulang sendiri. Sepertinya Naren paham karena setelahnya cowok itu menghela nafas dan menatap Rere dengan tatapan khawatir.

"Ya udah kalau mau pulang sendiri, hati-hati ya," Naren berkata sebelum pada akhirnya Rere berbalik dan melangkah begitu saja meninggalkan sosok tinggi itu disana.

Rere menghela nafas panjang, tangannya mencengkram erat kedua tali tasnya yang menggantung di samping. Hari yang melelahkan sekali, begitu pikirnya. Lihat saja penampilannya sekarang sangat kotor dan menjijikkan, dia tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi bibi Marni saat melihatnya pulang dengan keadaan seperti ini. Ah, wanita tua itu pasti akan sangat sedih.

Seulas senyum tipis terpatri diwajahnya saat membayangkan wanita tua itu mengomel sambil menyikat seragamnya. Ah, ia melupakan satu fakta itu, melupakan bahwa masih ada orang yang benar-benar peduli dengannya.

Dear BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang