00.07. : Marten

1.4K 258 6
                                    

Obsidian hitam legam itu membulat bertepatan dengan jatuhnya laptop dari atas meja menghantam lantai marmer putih ruang tengah dengan keras. Bukan hanya laptop saja, melainkan ponsel juga kertas juga buku-buku tebal yang semula berada di atas meja kini berpindah jatuh ke lantai.

"Lo gak punya mata?!," Sedetik kemudian suara bentakan keras itu mulai terdengar. Ia mengerjap pelan, memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya demi bisa melihat wajah marah dari kakaknya.

Rere menggeleng pelan, berusaha menjelaskan bahwa ia tidak bermaksud. Namun, yang ia dapat selanjutnya adalah sebuah pukulan keras yang mendarat sempurna di pipinya. Tubuh kurusnya jatuh, hilang keseimbangan berkat tamparan tersebut.

"Anjir, pembawa sial banget sih," Denise kini merebut sapu yang sejak tadi Rere bawa. Detik berikutnya ia mulai memukuli punggung sempit milik adiknya itu guna menyalurkan rasa kesalnya.

Bukan tanpa alasan sebenarnya, tadi ia berniat mengerjakan tugas diruang tengah sekalian menunggu Marten, temannya untuk pergi menuju studio musik. Namun, sekarang yang terjadi sungguh diluar ekspektasinya.

Baru juga ia meninggalkan tugasnya selama beberapa menit untuk membuat minuman. Sekembalinya ia dari dapur malah mendapat pemandangan menjengkelkan. Tentu dengan sosok cacat yang tak lain adalah adiknya tengah berada disana.

Denise mendengus,semakin kencang memukuli tubuh kurus Rere yang kini sudah dipenuhi luka berkat pukulan yang ia berikan. Tidak lupa kakinya ikut ambil bagian untuk menendang tubuh kurus tersebut. Mengabaikan ringisan sakit dari adiknya.

"Ya Allah nis," gerakan tangannya terhenti begitu suara cempreng itu terdengar diikuti sosok Marten yang menahan tangannya ketika hendak memukul adiknya lagi.

"Bisa mati nanti dia nis," Marten menarik tubuh Denise menjauh, tidak lupa disertai omelan kecil khas dari temannya itu.

Denise mendesis masih menatap tajam kearah Rere. Tendangan terakhir ia hadiahkan tepat kearah paha kanan adiknya itu membuatnya meringis kecil.

"Biarin aja dia mati muak gue lihat muka sok polos tanpa dosanya, pembawa sial!," Marten melebarkan mata, sedikit tidak percaya dengan apa yang keluar dari mulut temannya itu.

Denise sendiri hanya memutar bola mata sebelum berbalik dan melangkah pergi begitu saja, mengabaikan kehadiran Marten yang masih cengo ditempatnya.

                                     🖤

Rere tidak tahu mana yang lebih sakit saat ini. Luka memar di punggungnya atau hatinya. Menurutnya semua sama saja, sama-sama menyakitkan dalam konteks yang berbeda. Tubuhnya sakit karena pukulan bertubi-tubi dari Denise, dan hatinya jauh lebih sakit berkat perlakuan dan juga ucapan kakaknya.

"Sakit?," Rere mengerjap menoleh kearah Marten yang masih setia mengobati dirinya. Ia menggeleng pelan sambil berusaha menyunggingkan senyum tipis kepada teman kakaknya yang telah berbaik hati mau mengobati dirinya.

Marten menghela nafas, tangannya masih lanjut mengobati luka-luka yang ada ditubuh kurus Rere.

"Gila si Denise," satu kalimat itu terlontar dari mulutnya. Bagaimana tidak?, didepannya kini terpampang jelas luka-luka memar yang parah dipunggung sempit milik Rere.

"Kalau gue jadi lo re, gue bakal bales pukul kakak lo itu," Rere tersenyum tipis mendengar hal itu. Kalau boleh jujur, Rere ingin sekali punya kakak seperti Marten. Dia orang yang periang dan ceria, ditambah Marten tidak pernah membeda-bedakan seperti kebanyakan orang lain melihat dirinya.

Rere menghela nafas, ia memainkan ujung kaus merah yang ia pakai. Sesekali dirinya meringis kala kulit lebam dan memarnya diolesi salep, rasanya perih dan nyeri. Beruntung sekali tidak perlu waktu lama akhirnya Marten selesai dan hal itu membuat Rere menghembuskan nafas lega.

"Nanti kalau mau tidur diolesi salep lagi ya," Marten memberi petuah, tangannya sibuk menata kembali obat-obatan dikotak P3K. Rere mengangguk pelan dan mengacungkan jempolnya kearah Marten.

"Eh, mau kemana?," Rere yang hampir berdiri dibuat terlonjak kaget mendengar suara Marten.

Bocah laki-laki itu tersenyum tipis sambil menunjuk ruang tengah yang sangat berantakan dan sapu secara bergantian, memberi isyarat pada Marten bahwa ia harus membereskan ruang tersebut.

Marten mendengus, menarik tangan Rere membuat bocah kurus itu kembali duduk dan mengerjapkan mata bingung.

"Biar gue aja yang bersihin," jawaban itu sontak membuat Rere menggeleng. Namun, penolakan Rere tidak memberi pengaruh bagi Marten, karena pemuda itu sudah bangkit dan merebut sapu yang sejak tadi dipegang olehnya.

Rere mengulum bibirnya, ia menatap Marten dengan perasaan bersalah. Jujur saja ia tidak suka menyusahkan orang lain seperti ini, karena menurutnya hal itu sama saja dengan menjadi beban atau lebih parahnya parasit dan Rere tidak mau seperti itu.

"Udah makan belum?," Suara Marten menginterupsi membuat lamunannya buyar. Manik mata hitam legam miliknya bergulir cepat, dan sedetik kemudian ia menggeleng.

"Oke, kalau gitu nanti gue masakin," Marten berkata enteng mengabaikan gelengan kepala Rere yang ia yakini tengah memberi isyarat pada dirinya berupa tolakan. Tapi, Marten tidak peduli.

"Gue kalau dirumah suka makan pakai sosis asam manis, lo gak mau gue buatin sosis asam manis?," Marten menegakkan tubuh, menatap kearah Rere yang duduk sambil memangku kotak P3K di atas pahanya.

"Enak kok, gue jamin," lanjutnya lagi begitu menangkap keraguan diwajah Rere.

Sebenarnya Marten tahu, bocah didepannya ini sedang merasa tidak enak karena menyusahkan dirinya. Tapi, masa bodoh dengan hal itu. Marten sama sekali tidak merasa di susahkan. Niatnya memang ikhlas ingin membantu, lagipula Rere juga sedang sakit setelah dipukuli Denise.

"Ayo ke dapur," Marten menarik tangan Rere, membuatnya berdiri. Ruang tengah sudah kembali rapi walau laptop serta beberapa barang lain yang tadinya ada di atas meja rusak. Tapi, tidak apa-apa semua sudah beres.

Rere melangkah mengikuti Marten yang menarik tangannya kelewat bersemangat menuju kearah dapur. Rere mengerjap, perasaan haru tiba-tiba menelusup didalam dadanya. Bukan berlebihan, karena demi apapun baru kali ini ia diperlakukan dengan baik oleh orang lain.

'Terima kasih kak Marten'

'Dan...tidak lupa juga terima kasih Tuhan'





•••

Hei, hehe...maaf ya karena aku gaje banget karena emang nyatanya aku itu orangnya gak jelas (ngomong apa sih?). Oke intinya makasih buat yang udah baca👍

Btw, mas Ten aku jadiin Marten gak apa-apa kan? Hehe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Btw, mas Ten aku jadiin Marten gak apa-apa kan? Hehe...

Dear BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang