Denise mendengus meremas kertas surat yang sejak tadi ia genggam, matanya menatap datar kearah pintu cokelat yang tertutup rapat di depannya. Tangannya terulur dan dengan kasar membukanya membuat sosok mungil yang semula tertidur di atas karpet sambil memeluk radio terlonjak bangun dari posisinya dan menatapnya dengan senyum merekah diwajahnya.
Denise mendecih melempar kasar remasan kertas yang berada ditangannya tepat mengenai wajah sosok mungil yang berada dihadapannya. Sungguh, demi apapun juga ia ingin sekali melenyapkan sosok mungil dengan tampang tidak berdosa didepannya ini. Tangannya mengepal dan detik berikutnya melayangkan tamparan keras tepat di pipi kanan sosok mungil tersebut membuat sosok tersebut terhuyung.
"Maksud lo apaan ngirim surat kayak gini?!," Ia masih mengepalkan tangan berusaha menahan amarahnya terhadap sosok mungil yang kini mengusap pipinya kesakitan. Netra cokelat sosok mungil itu bergetar menahan mati-matian air mata yang nyaris tumpah.
"Sekarang semua tahu kalau gue punya adek kayak lo sat," satu tamparan kembali melayang kali ini di pipi sebelah kirinya membuat rasa nyeri dan panas yang bercampur dari satu menyerang pipinya.
"Bisa gak sih dulu mama gak ngelahirin lo!, Malu gue anjir," kali ini kakinya menendang tubuh mungil didepannya membuat sosok itu terbatuk dan berusaha melindungi dirinya sendiri dengan kedua lengannya.
"Udah budeg, bisu, aib keluarga, idiot lagi! Kenapa sih lo harus lahir di keluarga gue?!," Denise kembali menendang tubuh mungil sosok didepannya membuatnya terlempar dan menghantam keras lemari yang berada tepat dibelakangnya.
"Lo tuh kapan sih tahu diri anjir!, Males gue lihat muka lo yang sok kayak gak punya dosa itu!, Kenapa lo harus ada di dalam hidup gue anjir!," Kepalan tangan Denise masih setia memukul sosok mungil yang meringkuk melindungi diri walau percuma karena Denise sungguh brutal.
"Fuck you!," Denise menendang tubuhnya untuk yang terakhir kali dan berbalik keluar dari kamar sempit sosok mungil yang tidak lain adalah adiknya itu dengan membanting keras pintu kamarnya.
Sementara itu sosok mungil itu menatap nanar kearah pintu kamarnya yang kini tertutup rapat. Tangan kecilnya bergerak mengambil kertas yang kini sudah kusut disana sini dengan gemetar. Ia terisak pelan mengusap air matanya yang tiba-tiba mengalir begitu saja, turun membasahi pipinya.
🖤
Denise menghela nafas kasar, melempar asal jaket yang semula ia kenakan ke sembarang arah dan menghempaskan tubuhnya ketempat tidurnya yang berantakan. Matanya menerawang ke langit-langit kamar menatap lekat lampu gantung yang berada tepat di atasnya. Tangannya bergerak kasar mengusap wajahnya, lalu ia mendengus dan memilih memejamkan matanya.
Ah, hari ini benar-benar menjengkelkan. Banyak hal yang membuat dirinya bad mood, salah satunya adalah perihal surat dari anak sialan yang bahkan Denise tidak sudi mengakui dirinya sebagai adik. Entah apa alasannya ia sangat benci terhadap adiknya itu, baginya sosok mungil bernama Rere itu adalah makhluk menjijikkan yang pernah ada di dunia.
Yah, namanya Rere, lebih tepatnya Rere Junia Alderama, nama yang bahkan tidak ayahnya berikan kepada anak itu. Nama itu diberikan mendiang kakeknya saat anak itu masih bayi dulu karena demi apapun tidak ada yang mau mengurusnya selain kakeknya yang memang sangat penyayang.Hah, siapa juga yang mau mengurus anak pembawa petaka dan kesialan itu. Lihat, berkat dirinya Denise harus kehilangan hangatnya kasih sayang seorang ibu diusianya yang dulu baru menginjak 7 tahun.
Denise mendengus untuk yang kesekian kalinya dan menendang selimutnya hingga benda tersebut jatuh dari atas tempat tidur. Ia bangkit meraih ponselnya, matanya menyipit saat melihat satu pesan dari ayahnya yang mengabarkan bahwa malam ini beliau pulang.
Denise mendecih, memasukkan asal ponselnya kedalam saku celana bersama beberapa uang. Ia berbalik dan berjalan cepat menyambar jaket yang baru saja ia gantung dan melangkah keluar kamar. Rumahnya sepi karena hanya terdapat dirinya, anak sialan dikamar sebelah, dan juga beberapa pembantu rumah tangga. Ayahnya? Jangan pernah tanyakan kemana dia pergi.
Kakinya menuruni tangga, sementara matanya menelusuri setiap penjuru rumah berharap menemukan pak Kirman selaku tukang kebun keluarganya.
"Pak, nanti bilangin ke ayah,Denise nginep di rumah Marten," Denise berkata datar saat menemukan sosok tua tersebut tengah mencabuti rumput didepan rumah.
"Lho ayah pulang hari ini tuan muda?," Denise hanya mengangguk singkat sambil berlalu menuju garasi untuk mengeluarkan motornya.
"Bilangin ayah, Denise nginep di rumah Marten pak," dapat Denise lihat kepala pak Kirman yang mengangguk. Ia mendengus sebelum akhirnya pergi meninggalkan pekarangan rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Brother
Teen FictionUntuk kamu, malaikat tak bersayap yang dikirim Tuhan tanpa pernah kusadari sebelumnya.