"Mbak, nanti kalau aku gak bisa bertahan, tolong jaga dia ya?," Ia tertegun, menatap sorot mata redup sosok yang kini tengah berbaring di atas brankar rumah sakit.
"Kamu ngomong apa Wendy?, Kamu bisa bertahan, percaya sama mbak," suaranya sedikit bergetar, tangannya bergerak untuk menggenggam tangan adiknya yang mulai dingin.
"Aku titip Denise sama dia mbak," manik mata sendu itu bergerak, menatap sosok mungil yang tertidur nyenyak didalam sebuah inkubator.
Irene menggeleng cepat, air mata yang sejak tadi coba ia sembunyikan akhirnya tumpah juga membasahi pipinya. Sedikit rasa bersalah entah kenapa mampir dalam hatinya kala melihat binar mata adiknya mulai meredup.
"Kamu harus bertahan Wen, kasihan sama anakmu yang belum sempat lihat wajah kamu dan merasakan kasih sayangmu," suara Irene meninggi, bersamaan dengan kelopak mata Wendy yang kian memberat.
Wendy menggeleng pelan, kepalanya menoleh menyempatkan diri untuk melihat sosok mungil anak keduanya yang tengah berbaring didalam inkubator.
"Namanya Rere Junia Alderama mbak, janji sama aku kalau mbak bakal jaga dia, jangan sampai dia tinggal sama Chakra karena aku tahu dia gak akan pernah menerima Rere,"
🖤Irene memejamkan matanya, sekelebat bayangan wajah sang adik tiba-tiba saja terlintas dikepalanya. Rasa sesak karena perasaan bersalah kini mulai menghimpit dadanya, membuatnya kesulitan untuk mengambil nafas. Netranya terbuka kemudian dan langsung beradu dengan manik mata kelam bertabur bintang milik remaja tanggung didepannya.
Dia Rere, anak kedua Wendy, adiknya. Anak yang dulunya Wendy titipkan pada dirinya sebelum dia menutup mata untuk selamanya. Ia tidak mungkin salah orang, karena pada dasarnya nama Rere adalah pemberian Wendy sebelum dirinya pergi. Dan ketika ia melihat sorot mata teduh lagi sendu itu, ia seperti melihat Wendy dalam versi lain. Belum lagi tanda lahir dipunggung tangan kanannya yang semakin memperkuat dugaan jika dia benar-benar sosok mungil yang dulu Wendy titipkan padanya.
Irene memajukan tubuhnya, merentangkan kedua tangannya dan menarik remaja yang lebih tinggi darinya itu kedalam pelukan hangatnya. Menyalurkan semua rasa bersalah yang bersarang dalam dadanya. Membiarkan dirinya melepas rindu pada sosok Wendy, adiknya.
"Maaf," hanya satu kata itu yang dapat Irene katakan, begitu lirih dan hampir tidak terdengar sama sekali.
Tidak ada pergerakan sama sekali dari Rere dalam pelukan hangatnya. Remaja itu hanya diam dalam kebingungannya sendiri. Namun, alih-alih melepas pelukannya, Irene malah semakin erat memeluknya.
"Maaf, seharusnya kamu tinggal sama tante seperti amanah Wendy sebelum dia meninggal," lagi, kata maaf yang cukup panjang meluncur dari kedua bilah bibir Irene.
Rere terdiam, samar garis yang tadinya melintang di dahinya perlahan hilang digantikan oleh binar mata penuh pengertian diwajahnya. Tangannya terangkat, menepuk pelan punggung Irene, membuat wanita itu sedikit tersentak walau pada akhirnya kembali mengeratkan pelukannya.
"B-bukan alah nnyonya," Irene terkekeh mendengar kalimat penenang yang dilontarkan secara tidak sempurna dari bibir remaja itu. Ah, tidak bersalah ya?, Pada nyatanya sejak pertama kali dirinya bertatap muka dengan remaja yang baru saja ia temui siang tadi, semua rasa bersalah itu berhasil membuat dirinya kehilangan kewarasan.
Irene terkekeh pelan, melepas pelukan eratnya dan menatap raut wajah kebingungan remaja itu. Ah, bahkan matanya sangat-sangat mirip Wendy. Bagaimana dulu ia bisa menyalahkan dirinya yang bahkan tidak tahu apa-apa?. Irene merasa jahat sekarang.
"Maafin tante Re," lagi hanya itu yang mampu Irene ucapkan.
Rere tersenyum kikuk, tangannya menggaruk pelan belakang kepalanya dan menunduk. Sementara pria yang sejak tadi hanya diam menyimak mulai angkat bicara setelah Irene selesai dalam acara peluk memeluknya.
"Rere nginep aja disini ya, sudah malam, besok saya antar kerumah," Rere mengerjap, menggeleng pelan sebagai balasan untuk tawaran pria tersebut.
"Gak sah," ujarnya lirih yang mengundang kernyitan di dahi dua orang yang berdiri tepat didepannya ini.
"Angsung pulang, nanti ariin ayah," lanjutnya.
"Ayah kamu bukannya keluar kota?," Irene bertanya, cukup membuat dirinya sedikit kelabakan mencari alasan.
Rere meringis, menggaruk puncak kepalanya dan menjawab dengan ragu.
"Kak Enis nunggu irumah,"
Irene mengangguk paham, perempuan itu maju menepuk pundak remaja tersebut pelan dan kembali memeluknya.
"Ya sudah, biar om Senja anter ya?," Lagi, Rere kembali menggeleng sebagai penolakan. Irene mengernyit, melepas pelukannya dan menatap Rere lekat-lekat.
"Sudah malam re, pokoknya biar om Senja anterin kamu, takut ada apa-apa dijalan nantinya," Irene berkata lagi, kali ini menyikut lengan Senja sang suami yang sejak tadi menatap mereka bingung.
"Ah, hehe...iya biar om anter," pria itu terkekeh, dengan cepat naik menuju lantai atas untuk mengambil jaketnya. Sementara, Irene tersenyum sambil menepuk pundak Rere pelan.
"Nanti salamin Denise ya," ucapnya yang diangguki Rere dengan ragu.
Tidak sampai memerlukan waktu lama, Senja turun dengan jaket dan juga kunci mobil ditangannya. Pria itu tersenyum lebar kearah Irene dan Rere yang sudah menunggu diluar.
"Ayo," ucapnya dengan penuh semangat.
Irene menghela nafas, menatap kearah Rere yang mengangguk. Dalam hati ia sedikit ada rasa enggan untuk memulangkan remaja kurus itu, karena mereka baru saja bertemu tadi siang setelah selama bertahun-tahun terpisah.
"Ulang dulu tante, maasih," Rere tersenyum, menyalami tangannya dan mengucapkan kata pamit walau kurang jelas.
Yang dapat Irene lakukan hanyalah tersenyum simpul. Tangannya mengusap pelan kepala Rere, memberi sebuah kehangatan yang jarang sekali Rere dapatkan.
"Hati-hati ya, jangan lupa mampir kesini,"
Rere mengangguk pelan, ia kembali menegakkan tubuhnya dan berlari kearah mobil, tempat Senja menunggu. Irene melambaikan tangan kala mobil itu menjauh. Ia menghela nafas panjang ketika mobil itu sudah hilang dari pandangan matanya.
"Wendy, aku akan jaga Rere seperti apa yang pernah aku janjikan padamu dulu,"
🖤
Huhu...ini pasti part tergaje yang aku buat. Demi apapun aku lagi gak mood sebenarnya buat nulis, dan akhirnya gak bisa update karena gak dapet ide. Huhu...maafkan aku:(.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Brother
Ficção AdolescenteUntuk kamu, malaikat tak bersayap yang dikirim Tuhan tanpa pernah kusadari sebelumnya.