Rere belum pernah ke tempat seperti ini sebelumnya.
Kelab malam. Itu kata Naren saat Rere turun dari motor dan bertanya padanya dengan bahasa isyarat. Ketika mendengar jawaban Naren, Rere seketika langsung pucat. Tidak tahu kenapa tiba-tiba saja hatinya berkata akan ada hal buruk jika ia ikut masuk ke dalam sana. Namun, ia hanya bisa pasrah ketika Naren menarik tangannya untuk masuk ke dalam.
Tempat ini bukan tipenya. Terlalu berisik dan ... ramai. Telinganya serasa mau pecah ketika ia sepenuhnya masuk ke dalam sana. Cepat-cepat ia melepas alat bantu dengar yang masih terpasang apik di telinganya. Kemudian dengan cepat Rere memasukkan benda tersebut ke dalam saku jaketnya.
"Jeno dimana, sih?" Naren celingak-celinguk di sebelahnya. Matanya menyipit, berusaha untuk mencari keberadaan si saudara kembar. Sementara, Rere masih berusaha untuk terbiasa dengan tempat ini.
Bau alkohol, rokok, dan juga gemerlap lampu berhasil membuat kepala Rere berdenyut pusing. Beruntung sekali telinganya sekarang tidak lagi mampu mendengarkan bunyi-bunyian keras yang memenuhi seluruh penjuru ruangan tersebut.
Hening, seperti biasanya.
"Nah, itu dia!" Naren berseru. Rere tidak bisa mendengarnya, tapi melalui gerakan bibirnya bisa dipastikan jika ia mengatakan hal tersebut.
"Ayo," lagi-lagi Rere pasrah ketika tangannya ditarik oleh Naren. Mereka berdua berjalan beriringan. Melewati lautan manusia yang kini sedang menari-nari di dance floor mengikuti irama musik.
Rere hampir saja terjatuh ketika tidak sengaja menabrak seseorang. Namun, Naren dengan sigap menangkapnya.
"Hati-hati," ucapnya.
Setelah berjuang melewati lautan manusia itu, akhirnya mereka berdua sampai di tempat Jeno dan kawan-kawan.
Sosok jangkung itu tengah sibuk menghirup sebatang nikotin sambil tertawa-tawa dengan teman-temannya kala Naren dan Rere datang.
"Lama banget lo!" Jeno berseru, melirik sekilas ke arah Naren yang mendudukkan diri di depan Jeno. Tangannya merebut satu kotak rokok dari saku kembarannya. Setelah itu yang Rere dapati adalah penampakan Naren yang menjepit sebatang rokok dengan kedua bilah bibirnya. Tidak lupa segelas cairan berwarna keruh di dalam genggamannya.
"Nungguin si budek, noh," Naren menunjuk kearah Rere. Atensi Jeno kini berpindah pada sosok yang tak seberapa tinggi itu. Rere masih berdiri, rasanya enggan untuk duduk di tempat tersebut dan menikmati benda-benda haram yang ada di meja bundar itu.
Selama enam belas tahun ia hidup, Rere tak pernah sekalipun punya pikiran untuk masuk ke dalam tempat seperti ini. Tempat ini ... Kotor dan menjijikkan.
"Woy, duduk!" Jeno berseru, suaranya berusaha untuk menyaingi musik yang diputar keras. Namun, Rere bergeming. Cowok kurus itu masih setia berdiri di tempatnya sambil mengedarkan pandangan ke segala arah.
"Ck, kumat lagi penyakit congenya," Naren mendengus, menaruh gelasnya yang telah kosong dengan kasar ke atas meja. Jeno cekikikan melihat wajah saudara kembarnya itu masam.
"Tarik aja, suruh dia duduk," ujar Jeno singkat.
Naren mendengus, tubuhnya bergeser sedikit dan dengan segera menyambar pergelangan tangan Rere. Membuat sosok kurus itu tersentak dan menjatuhkan pandangannya pada Naren. Belum sempat ia mencerna apa yang terjadi, Naren sudah menariknya. Membuat tubuh kurusnya itu terduduk hingga hampir terjengkang kalau-kalau ia tidak menumpu tubuhnya dengan kedua tangannya.
Jeno terkikik di tempatnya. Cowok itu meraih gelas berisi wine dan menenggaknya hingga tandas. Setelahnya ia menyodorkan gelas tersebut pada Naren yang membawa botol, meminta tambahan pada si saudara kembar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Brother
Ficção AdolescenteUntuk kamu, malaikat tak bersayap yang dikirim Tuhan tanpa pernah kusadari sebelumnya.