00.22. : Dilema

1.1K 156 19
                                    

Buku-buku tebal itu terbuka, menghiasi meja belajar lebar yang penuh dengan alat-alat siap tempur lainnya. Berserakan dan tercecer tidak tentu arah. Beberapa sobekan kertas berisikan rumus dan teori-teori membingungkan juga tersebar, menghiasi beberapa sudut meja yang kondisinya begitu berantakan itu.

Di satu sisi, Naren si pelaku utama dari kondisi meja tersebut tengah terdiam. Menatap kearah buku-buku tebalnya tanpa melakukan apapun. Cowok itu tampak frustasi, rambut hitamnya yang biasanya tersisir rapi itu kini mencuat tak tentu arah. Ditubuhnya masih melekat seragam sekolah.

Naren mendengus, mengacak rambut dengan kasar sebelum menyangga kepalanya yang kali ini terasa berdenyut nyeri berkat beban pikiran ditambah waktu tidurnya yang tersita hanya untuk belajar. Semua terasa melelahkan untuk Naren, terutama kejadian beberapa waktu lalu dimana dirinya harus menerima amukan sang ayah akibat gagal masuk dalam tim perwakilan sekolah untuk olimpiade.

Naren tidak tahu, apa salahnya gagal sekali saja?. Lagipula, kita masih punya kesempatan bukan?. Entahlah, yang Naren tahu ayahnya itu hanyalah seseorang yang menuntut semuanya agar sempurna, tepat seperti bagaimana beliau mendidik Jeno dan Naren. Dalam kamus hidup keluarga Aditama, tidak ada kata gagal.

Naren kenal ayahnya, sosok pria paruh baya itu akan melakukan apa saja agar tujuan yang dia inginkan bisa tercapai, termasuk merusak kebahagiaan orang lain. Dan sialnya sifatnya itu menurun pada Jeno, kakak kembarnya yang juga akan melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

Beruntung sekali, sifat itu tidak menurun pada Naren. Karena demi apapun, Naren tidak ingin orang jahat. Iya, jahat. Jahat karena merusak kebahagiaan orang lain. Tapi, mungkin untuk kali ini dirinya akan jadi orang jahat berkat dua orang itu.

"Masih belajar aja lo?," atensinya teralihkan saat suara berat dan juga kehadiran sosok Jeno di ambang pintu kamarnya. Naren mendengus, mengabaikan kehadiran Jeno dan lebih memilih kembali fokus pada buku-buku tebal yang terbuka di depannya.

Jeno tertawa kecil, melangkahkan kakinya ke arah Naren. Mendudukkan diri di ranjang adik kembarnya itu dan merogoh saku celananya demi mengeluarkan sebatang nikotin. Naren melirik sinis, tidak suka dengan apa yang kini tengah dilakukan saudara kembarnya itu.

Jeno itu perokok aktif. Kemanapun dia pergi pasti gulungan berisi tembakau itu akan selalu menemaninya. Saudara kembarnya itu bisa merokok dimana saja dan kapan saja. Benar-benar mirip sang ayah.

"Kalau mau ngerokok gak usah disini. Bikin gak fokus belajar," Naren mencibir, melempar buku tebal yang tadi sempat ia pegang ke atas meja kala asap-asap berbau menyengat itu mulai keluar dari mulut Jeno dan mengganggu kegiatan belajarnya.

Jeno berdecak, mengacak rambut hitamnya. Alisnya tampak menukik, tanda jika dirinya tak terima ditegur seperti itu oleh adik kembarnya. Namun, walaupun begitu dia tetap mematikan rokoknya, melempar gulungan tembakau yang belum sampai habis setengah itu keluar jendela kamar.

"Puas?," ucapnya kemudian. Sedangkan Naren hanya memutar bola mata tidak peduli. Bocah itu lebih memilih fokus pada buku tebal yang ada didepannya. Mencoba lebih keras untuk bisa memahami banyak hal yang ada disana. Namun, sepertinya malam ini dirinya terlalu lelah.

Jadwal Naren padat, hampir tidak ada waktu untuk istirahat. Ini saja Naren baru saja pulang dari les dan belum sempat berganti baju atau makan malam. Naren tahu, akhir-akhir ini dia jadi orang yang benar-benar ambisius. Tepat setelah pengumuman hasil olimpiade itu lebih tepatnya.

Naren tidak pernah menyangka, jika dirinya bisa-bisanya tidak masuk tim perwakilan. Padahal, dirinya sudah belajar keras setengah mati untuk hal ini. Namun, sepertinya dewi Fortuna sedang tidak berpihak padanya saat ini. Sejujurnya, Naren tidak apa-apa namanya tidak tercantum sebagai perwakilan olimpiade.

Dear BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang