13. Tanya Hati

888 204 34
                                    

Hampir setiap hari besar nasional selalu diperingati dengan sebuah upacara bendera

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hampir setiap hari besar nasional selalu diperingati dengan sebuah upacara bendera. Tidaknya di sekolah, di instansi pemerintahan pun diperingati dengan upacara bendera. Dan pagi ini, Sergio sudah siap di posisinya sebagai pembawa naskah pembukaan UUD 1945.

Awalnya Ia ditunjuk menggantikan Jefan yang sedang sakit untuk memimpin upacara, namun kemarin Jefan mengkonfirmasi bahwa Ia bisa memimpin upacara pagi ini. Jadi Sergio tetap pada posisi awalnya.

Kurang lebih 45 menit, upacara berjalan hikmat, deretan ASN instansi pemerintaha berdiri cukup rapi di lapangan upacara depan gedung kantor walikota, begitupun dengan para guru dan siswa perwakilan dari setiap sekolah yang ada.

Setelah upacara pagi ini, Sergio berencana pergi ke Bank terlebih dulu sebelum memulai pekerjaannya, kebetulan juga Ia sudah meminta izin pada atasan. Karena terkadang hampir tidak ada waktu yang pas untuknya pergi ke Bank.

Selesai mengemasi segala perlengkapan upacara, lelaki itu melangkah cukup cepat menuju parkiran kantor. Saking cepatnya dan tidak hati-hati Ia sampai menabrak seseorang dan sontak itu membuatnya kaget.

Sergio lantas membalikkan tubuhnya lalu menahan tubuh orang yang Ia tabrak dengen memegang kedua lengan orang itu, "Maaf mba --Mba gapapa ?" tanyanya.

Perempuan itu mengaduh pelan, lalu mencoba menegakkan dirinya. "Gapapa kok mas" jawab perempuan itu sedikit menunduk.

Sergio ikutan merendahkan tubuhnya, berusaha melihat siapa yang Ia tabrak barusan. "Elin ?"

Itu benar Elin, dan Ia pun mengangkat kepalanya, "Hmm mas Gio kan ?" tanya Elin ragu dan otomatis Sergio mengangguk kemudian melempar senyum.

"Kamu kerja disini ?"

Elin menggeleng, "Saya cuma ikut upacara mas"

Keduanya sama-sama terdiam setelah itu, Sergio sampai lupa tujuan awalnya yang ingin pergi Bank. "Mas, saya duluan ya, mau balik ke sekolah", Elin pamit lalu membalikkan tubuhnya, namun Sergio malah menahan pergelangan tangan gadis itu.

"Sama saya aja mau ?" tawar Sergio

"Engga usah, saya bisa pake gojek" tolak Elin cepat.

"Sama saya aja, kebetulan saya juga mau keluar" kata Sergio lagi seolah tidak peduli dengan penolakan Elin. Gadis itu menggigit bawah bibirnya ragu, tiba-tiba Ia jadi kepikiran dengan Hiski, entah kenapa.

"Hmm ya udah" putus Elin akhirnya. Sergio kembali mengulas senyum lalu mengajak Elin menuju mobil. Tanpa menunggu lama lelaki itu langsung membawa mobilnya keluar dari area kantor pemerintahan dan mulai berjalan membelah jalanan kota.

Keduanya sama-sama diam selama perjalan, Sergio dengan fokusnya pada jalanan, dan Elin juga berprinsip hanya akan berbicara jika Sergio mengajaknya terlebih dulu.

"Oh ya, saya lupa, kamu kerja dimana ?" tanya Sergio dan Elin pun menoleh.

"Indriyasana" Sergio kembali menoleh, kali ini dengan ekspresi kaget, lalu kembali lagi fokus pada jalanan didepannya.

"Sama dengan Bunda dong, kenal kan ? Bu Hera ?"

Elin, gadis cantik itu tersenyum sambil mengangguk, "Kenal, makanya saya kenal sama mas Hiski" jelas Elin yang membuat Sergio kini mengangguk.

Dalam hati Sergio mencibir Hiski, adiknya ini memang suka tidak bercerita jika bertemu dengan perempuan. Bahkan dirinya baru tahu sekarang kalau Elin adalah rekan kerja Bundanya.

"Deket ya sama Hiski ?" tanya Sergio iseng.

Elin menoleh, menatap lelaki disebelahnya yang tengah menyetir mobil dengan tatapan tidak percaya, "Kita cuma kenal, saya engga deket sama mas Hiski"

"Oh ya ? tapi Hiski exited banget kalau nyeritain kamu" kata Sergio lagi yang sukses membuat pipi Elin merona.

'Mas hiski apaan sih pake cerita!?'

Sergio mulai berpikir sepertinya Elin sama seperti Hiski, tidak mau bercerita tentang hubungan mereka yang mungkin saja lebih dekat dari yang Sergio pikir. Atau mungkin karena Hiski tidak pernah terlihat lagi dengan perempuan, makanya dia tidak mau bercerita banyak, pikir Sergio.

Abang Hiski itu hendak bertanya lagi, namun urung karena Ia sadar kalau mobilnya sudah hampir sampai di sekolah tempat Elin mengajar. Ia mendesah pelan sambil menjalankan mobil masuk ke dalam area sekolah.

"Makasih ya mas"

Sergio mengangguk, kembali melempar senyum, "Sama-sama"

Elin membalas senyuman lelaki itu sebentar lalu turun dari mobil, Ia tampak langsung berjalan menuju gedung. Sergio menyandarkan tubuhnya pada bangku kemudi, menghela nafas kasar lalu berdecak kemudian menggelengkan kepalanya.

Sejenak ada hal yang membuatnya bertanya-tanya pada dirinya sendiri sampai sedikit frustasi, "Kalau gue deketin Elin, reaksi Hiski gimana ya ?"

◻◻◻


Ghea cukup serius memperhatikan sebuah benjolan kecil diwajahnya, Ia mendekatkan diri pada cermin, sesekali Ia dibuat kesal melihat jerawat yang cukup mengganggunya beberapa hari ini. Meski hanya satu, itu cukup besar dan terlihat merah, membuatnya jengkel melihat itu setiap kali menghadap cermin.

Sama seperti yang lain, tidak ada perempuan yang suka melihat jerawat di wajah, meski barang hanya secuil.

Ghea menghela nafas pelan melihat wajahnya, Ia menyandarkan tubuhnya pada kursi kemudian meraih ponsel yang tidak jauh darinya. Membuka lockscreen, ada beberapa pesan yang masuk dan belum Ia baca. Salah satu yang cukup menarik perhatiannya dan mampu membuat gadis itu menarik sudut bibirnya adalah pesan dari Gibran.

Lelaki itu mengirimkan foto Hera --Bundanya Gibran. Ghea jadi rindu, Ia ingat betul bagaimana Ia begitu dekat dengan wanita paruh baya itu dulu. Hanya saja, semenjak putus, saat itu juga Ghea memutuskan untuk mengakhiri semua komunikasinya dengan keluarga Bagaskara.

"Kak ?" Ghea kaget, cukup gelagapan Ia pun menoleh ke belakang, ada kepala Jea menyembul dari balik pintu dan akan masuk jika diberi ijin.

"Kenapa Je ?"

Jea, gadis yang baru akan masuk perguruan tinggi itu menggeleng pelan sambil berjalan masuk kedalam kamar sang kakak. "Hmm sebenarnya aku mau tanya sesuatu"

"Tanya apa ?"

"Hm, kakak kenal sama dokter yang kemarin nanganin kakak pas kakak kecelakaan engga ?" tanya Jea hati-hati.

Ghea diam, tampak mengingat kembali siapa dokter yang menangani dan merawatnya waktu itu. Ia masih diam, namun syok sendiri ketika mengingat kalau yang dimaksud Jea itu adalah Gibran.

"Ingat" jawabnya pelan, "Kenapa ?"

"Dia satu almet sama kakak kan ? kakak kenal ?" tanya Jea bertubi-tubi tanpa Ghea duga.

"Satu fakultas sih, cuma tahu aja" jawab Ghea berbohong. Tidak mungkin dia bilang kalau Gibran adalah mantan pacarnya ketika SMA, sementara satu rumah tahu kalau dulu dia tidak pernah diizinkan berpacaran.

'Maafin kakak Je'

Sejenak Ghea mulai curiga, dia tahu Jea, dan dia rasa Jea cukup tertarik pada Gibran, Jea tidak akan bertanya perihal lelaki pada diirnya jika Ia tidak tertarik. Dapat dia lihat Jea bahkan tersenyum sendiri saat ini.

Ghea mewajarkan, tidak ada celah dalam diri Gibran yang membuat perempuan tidak tertarik pada dirinya. Ya, dia adalah bukti nyata yang hingga saat ini masih sangat menaruh hati pada dokter itu.

"Kakak gimana sama mas Nando ?" tanya Jea kemudian.

Ghea tersenyum tipis, "Baik-baik aja kok"

Lagi, Ghea berbohong pada Jea dan pada dirinya sendiri. Semuanya tidak pernah baik-baik saja semenjak Ia menerima perjodohan ini. Semua hanya akan baik jika Gibran yang ada disisinya.

Namun sepertinya dia harus melepaskan Gibran, lagi.

Tbc

Sergio mau kita apain nih kira-kira ?
Udah sampe sini rupanya, wkwk engga nyangka. Selamat memasuki waktu bagian konflik
Btw gimana, layarin gak nih ?

Calon Mantu [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang