Sekelompok lelaki berkumpul membentuk lingkaran di sebuah ruangan dalam kompleks gudang tak terpakai. Komplek gudang ini sebelumnya ramai menjadi tempat persinggahan barang-barang impor dan ekspor tetapi lima tahun lalu seseorang membeli keseluruhan kompleks namun kemudian dibiarkan kosong begitu saja.
Ada dua kelompok. Kelompok di lingkaran luar bertubuh tinggi besar yang berjumlah lima puluhan. Kelompok lingkaran dalam berpakaian hitam-hitam sehingga menyaru dengan kegelapan malam dengan jumlah lebih kecil sekitar dua puluhan.
Mereka mengelilingi sebuah meja bundar dengan kain putih lebar di atasnya. Lampu temaram sehingga memberi kesan mencekam.
Lima orang duduk melingkar. Seseorang dengan jubah hitam berkeliling mengitari meja. Tangan kiri membawa lampu kecil yang diikat pada rantai, tangan kanannya membawa piring berisi darah.
Mulutnya komat-kamit mengucapkan kata-kata tidak jelas. Sebagian kata-kata itu diulang oleh semua yang hadir secara bersamaan.
Kemudian dia berhenti sambil mencipratkan darah ke atas meja.
"Raja Diraja alam semesta, Ractasa datanglah," ia berteriak.
Tak lama meja tersebut bergetar. Makin lama makin berguncang keras. Meja itu terangkat sendiri mengapung tiga meter ke udara.
Kemudian dengan cepat jatuh kembali ke posisi semula.
Kain putih lebar yang tertinggal melayang di udara, perlahan luruh membentuk tubuh seseorang.
Semua orang yang berada di situ sontak berlutut menyembah.
"Kalian gagal!" suara dari balik kain itu menggelegar.
"Kita sudah menunggu kedatangan pelintas batas itu dan kalian menggagalkannya. Kalian tidak becus," gema suara itu memenuhi ruangan.
"Maaf tuanku, dia dilindungi," ujar seorang lelaki bertubuh besar ketakutan.
"Hanya seekor kantiana! Kalian berlima!"
"Ampun Raja. Kami berjanji tidak akan me....," sambung lelaki kedua yang juga bertubuh besar. Lelaki itu tidak sempat meneruskan kalimat, tubuhnya melayang tinggi di udara bersamaan dengan lelaki pertama. Dengan kuat keduanya dijatuhkan menghantam dinding lantai keras sekali.
Bruk! Bruk!
Keduanya tewas seketika.
Tiga orang bertubuh besar yang lain ketakutan. Rupanya mereka adalah pengendara motor yang terlibat kejar-kejaran tadi.
Satu demi satu melayang dan dihujamkan dengan kuat ke lantai dan pilar besi.
Bruk! Bruk!
"Tunggu tuanku, saya berhasil menggores bahunya dengan kapak," pengendara terakhir yang hampir melayang menyela dengan suara bergetar. Sambil gemetar dia mengeluarkan kapak dari dalam jaket.
"Ada darahnya di sini."
Tubuh berkain menghentikan aksinya.
"Berikan!"
Kapak itu diambil lelaki berjubah.
Krak!
Tubuh pengendara terakhir patah ke belakang. Tewas.
"Bawa darah itu kemari. Segera bunuh pelintas itu. Kita tak mau ada manusia seperti dia lagi!"
Tiba-tiba semua lampu padam seketika.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Ketujuh
ActionMengapa di jaman modern sekarang tidak ada lagi cerita tentang peri? Tidak ada bidadari menari di ujung pelangi. Juga tidak ada lagi bayangan monster yang datang di malam hari. Bagaimana jika ternyata pintu dimensi mereka saat ini sedang terkunci? S...