Almira terus menghubungi nomor Raynar. Tetapi selalu dijawab nomor tersebut tidak aktif.
Ia kembali menghubungi Rio lewat chat.
'Gimana? Sudah ada kabar?'
'Belum. Ini lagi di apartemennya. Inhouse phone kamar gak ada yang jawab. Kata satpam keluar dari kemarin pagi.'
'Kemana?'
'Dia gak tahu. Sama cewek.'
'Siapa?'
'Gak ada yang kenal. Di guest logbook gak ada namanya.'
'Raynar gak ada kabar sudah lebih dari 24 jam. Hubungi teman elu yang polisi.'
'Mir, Raynar itu cowok. Pergi bareng cewek. Kali saja gak mau diganggu.'
'Gak biasanya. Dia lagi dicari bos.'
'Bilang saja sakit.'
'Tadi juga sudah bilang gitu. Nanti kalo ada kabar kasih tahu gue.'
'OK'
Almira melempar telepon genggamnya ke atas meja.
Sedetik kemudian.
Kriing!
Telepon genggam Almira berdering. Ada panggilan dari nomor tidak dikenal.
"Selamat sore, dengan Almira."
"Mir. Ini Raynar."
"Raynar! Kemana saja lu?!" Almira menjerit.
"Eng.. gue ada di sini," Raynar bingung mau menjawab jujur.
"Tadi elu dicari bos gede!"
"Siapa? Ada apa?"
"Mister Bagja. Tadi asistennya yang tinggi gede datang ke sini marah-marah cari elu. Gue bilang elu sakit."
"Bukannya dia lagi ditahan?"
"Ditahan? Siapa?"
"Oh sorry. Gue salah orang," Raynar mengalihkan pembicaraan.
"Tumben kan?"
"Ada apa sih?"
"Asisten itu bilang mau bawa elu untuk persiapan outing."
"Bagian yang biasa pegang event kan di bawah Ruly."
"Bagja secara khusus minta elu, katanya."
"Outing untuk apa?"
"Gue gak tahu, cuma asisten itu bilang mau bawa elu survei lokasi."
"Di mana?"
"Pangrango."
Raynar terdiam. Pangrango. Beberapa hari ini sudah tersebut tiga kali. Ada apa?
"Halo! Ray..?" Almira memanggil.
"Iya. Iya. Sudah dulu ya!"
"Ray, gimana gue bisa hubungin elu? Handphone elu kenapa?"
"Nanti gue yang telepon elu."
Raynar menutup telepon. Pertanyaan-pertanyaan baru muncul di kepalanya. Outing? Bagja? Pangrango?
"Apakah semua aman, Raynar?" tanya Samsara yang datang mendekat.
Raynar mengangguk. Ia baru menyadari berada di ruang tengah. Di sekelilingnya berkumpul para wanita cantik memperhatikan dia.
"Nawang sudah sadar," kata Samsara.
Raynar bangkit bergegas menuju kamar tempat Nawang. Disusul kantiana-kantiana yang lain.
"Nawang," tanpa sadar Raynar menggenggam tangannya. "Kamu baik-baik saja?"
"Raynar," ujar Nawang lirih. Baru kali ini ia mendengar namanya dipanggil Nawang. Entah mengapa ia merasa ada yang bergetar di dadanya.
"Dimana kita...?"
"Kita di asrama putri."
Nawang membuka matanya lebar-lebar. Ia baru menyadari berada di tempat yang pernah sangat akrab baginya. Nawang pernah tinggal lama di sini beberapa waktu yang lalu hingga ia terpaksa harus pergi ke kota lain karena sudah sampai batasnya untuk menghindari kecurigaan orang sekitar. Selanjutnya ia memilih hidup terpisah sendiri.
"Samsara," Nawang bangkit duduk memeluk Samsara yang berada di sebelah Raynar.
Nawang tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Lama sekali mereka berpelukan.
"Kamu pasti bisa," Samsara menenangkannya.
Nawang melepaskan pelukannya. Mereka bertatapan.
Mata Nawang makin basah karena air mata. Ia menggeleng.
"Lukamu sudah lama sembuh. Kamu pasti bisa," kata Samsara.
"Aku tak tahu. Aku tak mau terluka lagi," Nawang tertunduk. Air mata yang menetes dari pipi berjatuhan ke tempat tidur.
Samsara memeluk kembali memberinya kekuatan. Ia mengenal Nawang sejak kecil. Ia dan ibunda Nawang dulu adalah sahabat karib. Nawang dikenalnya sebagai seorang b'dari tangguh namun memiliki hati yang sangat rapuh.
Tanpa ada yang menyadari Raynar mundur perlahan keluar kamar. Ia merasa bersalah.
Raynar berjalan ke ruang depan.
Ia melihat ke arah jalan di kejauhan di balik jendela. Semua berjalan dengan baik-baik saja. Kendaraan dan pejalan kaki lalu lalang seperti biasa. Tak ada tanda-tanda dunia akan berakhir. Apakah benar bahwa dunia manusia dalam bahaya? Di mana letaknya Tongkat Perunggu? Mengapa aku?
Pikirannya berkecamuk.
"Raynar," panggil Samsara. "Tinggallah satu malam di sini. Besok pagi kalian bisa berangkat."
"Nawang?" Raynar menoleh.
"Dia butuh istirahat," jelas Samsara. "Hari sudah sore. Kamu juga bisa istirahat di kamar paviliun."
Raynar mengangguk.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Ketujuh
AcciónMengapa di jaman modern sekarang tidak ada lagi cerita tentang peri? Tidak ada bidadari menari di ujung pelangi. Juga tidak ada lagi bayangan monster yang datang di malam hari. Bagaimana jika ternyata pintu dimensi mereka saat ini sedang terkunci? S...