dua puluh tiga

26 3 0
                                    

Raynar dan Nawang berjalan di lorong apartemen tempat tinggal Raynar. Apartemen itu terletak di selatan kota. Terdapat lima tower yang menjulang dengan dua kolam renang besar di tengahnya.

"Kamu yakin butha tidak akan menyerang kita lagi di sini?" tanya Raynar.

"Mereka sudah berkumpul di Pangrango. Kita aman."

Raynar membuka pintu unit apartemennya.

Acak-acakan. Jendela pintu balkon pecah. Kursi terguling. Tempat tidur berantakan. Pot tanaman dari balkon tergeletak di dalam kamar. Terdapat beberapa titik hangus pada dinding.

Raynar memungut telepon genggam dari lantai. Mati, bagian ujung sedikit penyok. Ia menyambungkannya pada pengisi daya.

"Duduklah. Aku buatkan kamu minuman hangat," Raynar menyilakan Nawang duduk dan menuju kitchen bar.

Nawang melihat sekeliling.

Apartemen studio ini benar-benar mencirikan pemiliknya adalah pria.

Poster logo group band terkenal berukuran besar di dinding. Seperangkat konsol permainan elektronik di bawah televisi berlayar lebar. Di dekat jendela ada satu tempat tidur ruang yang diberi batas dengan rak yang berisi belasan figur. Di sudut kamar terdapat punching dummy, boneka pukul yang sudah mulai koyak.

"Sorry, aku jarang terima tamu. Yang biasa datang paling teman-teman tadi," Raynar datang membawa satu mug minuman buat Nawang.

Nawang menyambut mug dari tangan Raynar.

"Kamu suka tempat itu?" tanya Nawang menunjuk poster bergambar jurang di tepi pantai yang dipajang di bagian kepala tempat tidur.

"Iya aku suka sekali gambar itu. Langit, laut dan daratan seperti menyatu. Tapi aku tak tahu itu di mana. Asal beli saja di toko poster. Suatu hari aku ingin ke sana."

"Aku tahu itu di mana," kata Nawang.

"Oh ya?"

Nawang mengangguk.

"Kamu sebenarnya tinggal di daerah mana?" tanya Raynar sambil merapikan ruangan sebisanya.

"Aku tidak tinggal di Jakarta. Saat ini aku tinggal di Makassar."

"Oh. Jadi kamu ke sini hanya karena masalah ini?"

"Iya. Tapi aku pernah tinggal di kota ini 50 tahun yang lalu."

"Pasti melelahkan hidup mengembara berpindah-pindah tempat."

Nawang hanya tersenyum sambil meneguk minuman cokelat hangat pemberian Raynar.

Raynar menyandarkan tubuhnya di meja bar.

Mereka saling terdiam cukup lama.

"Sebenarnya aku bingung. Aku penasaran kapan kekuatan sebagai pelintas batas itu akan sepenuhnya ada padaku," ujar Raynar. "Tapi di sisi lain aku juga tidak tahu apakah aku mau menggunakannya nanti."

"Mengapa begitu?" tanya Nawang.

"Aku tidak tahu apakah akan membiarkan gerbang antar dimensi itu terkunci atau membukanya."

"Mengapa?"

"Karena hasilnya sama saja.

Jika kita gagal mencegah Tongkat Perunggu, bangsa gandarva akan menyeberang dan melampiaskan dendamnya pada manusia. Jika kita berhasil mencegahnya, apakah aku juga harus membuka lagi gerbang itu? Gandarva bisa bebas menyeberang. Kemudian seperti kata kakakmu, jika gandarva menyerang, bangsa b'dari akan datang melindungi manusia," ujar Raynar. "Artinya akan terjadi perang. Dalam perang pasti ada korban dari tiga belah pihak, manusia, gandarva dan b'dari."

Bidadari KetujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang