sembilan

41 5 0
                                    

Seorang lelaki berjalan tergopoh-gopoh di balairung kerajaan Angkara. Ruangan besar tetapi cenderung gelap. Hanya ada sedikit cahaya temaram.

"Tuanku Raja Diraja. Kita berhasil!" suaranya menggema di dalam ruang.

Ractasa berdiri dari singgasananya yang terbuat dari tumpukan batu yang ditatah kasar.

"Saya berhasil menghidupkan pajjang secara sempurna," sambung lelaki itu sambil menyembah.

"Sempurna seperti dulu?" Ractasa memberi isyarat agar lelaki itu mendekat.

"Iya tuanku," lelaki itu mendekat dengan langkah gemetar.

"Apa maksudmu, Doruna?"

"Selama ini kita hanya dapat membangkitkan pajjang. Namun gerakannya sangat lemah. Hanya bisa meloncat-loncat tidak bisa berlari. Berpuluh-puluh tahun telah dicoba, tetapi tetap gagal," ujar Doruna.

"Itu sebelum kita menemukan Tongkat Perunggu," kata Ractasa.

"Iya Diraja tetapi Tongkat Perunggu baru bisa membuat manusia kerasukan masal. Belum dapat membangkitkan pajjang. Kita masih gagal mencari tahu cara kerja Tongkat Perunggu sehingga belum dapat membuka ajiannya dengan sempurna."

"Kamu yang selalu gagal," sela Ractasa.

"Maaf Diraja. Iya saya yang selalu gagal. Tapi sekarang saya tahu bagaimana caranya menyalakan Tongkat Perunggu."

"Berkat darah pelintas?"

"Iya, Tuanku. Darah pelintas ternyata memiliki cara kerja yang sama dengan Tongkat Perunggu. Tadi saya mencampurkan darah pelintas dengan darah butha. Hasilnya pajjang dapat menyerang dengan sempurna."

"Siapa yang tadi diserang?"

"Kantiana pelindung itu, Tuanku."

"Berhasil bunuh dia?"

"Tidak, Tuanku. Hanya luka kecil. Saya juga hanya dapat menghidupkan tiga pajjang karena darahnya sangat sedikit. Tapi nanti pada saatnya saya akan menyuruh kaki tangan kita untuk mencampur Tongkat Perunggu dengan darah butha saja agar bisa membangkitkan banyak pajjang seperti rencana kita."

"Rencanaku," sela Ractasa. "Karena kamu masih belum juga berhasil membuat celah antar alam kita harus menjalankan rencana ini."

"Maaf Tuanku, untuk membuka celah saya masih terus berusaha," Doruna bersujud meminta maaf.

"Sempurnakan rasuk jiwa menjadi rekat jiwa. Kalau Tongkat Perunggu dan darah butha berhasil, kita tidak butuh kaki tangan lagi," ujar Ractasa. "Bagaimana dengan guwangan?"

"Saya sudah mengikat beberapa untuk budak kita," lapor Doruna. "Tapi pasukan butha berkurang banyak. Mereka kabur."

"Sisi manusia yang membuat mereka jadi makhluk pengecut!" ujar Ractasa marah. "Nanti saya tarik mereka lagi. Berapa butha yang tersisa?"

"Ada dua belas, Tuanku."

"Cukup?"

"Masih cukup, Diraja."

"Purnama ini juga harus kita laksanakan" titah Ractasa. "Tangkap pelintas itu sebelum mencapai kekuatan penuh."

"Tidak jadi dibunuh, Tuanku?"

"Tidak, dia mengusulkan cara lain."

***

Bidadari KetujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang