tiga puluh tujuh

13 4 0
                                    

Nawang dan Raynar yang tengah berjalan sambil berpelukan di padang rumput ikut merasakan ledakan itu.

"Apa yang terjadi?" tanya Nawang kaget.

"Tongkat Perunggu!" ujar Raynar segera memeluk erat Nawang erat-erat. "Ayo kita ke sana!"

Bumi seperti berputar

Wuisss! 

Nawang dan Raynar seketika telah tiba di bawah sebuah pohon besar di tepi desa Pasir Besi.

Di kejauhan tampak celah cahaya yang terbuka lebar dan berbondong-bondong bangsa gandarva mulai keluar dari celah dimensi itu. Trah Sangka dan butha langsung bergabung dengan para gandarva dan langsung menyerang. Para penduduk desa panik melihat kedatangan makhluk-makhluk bertubuh besar itu. Semua berlarian ketakutan. Mereka yang tidak sempat melarikan diri dihantam oleh kapak yang dibawa para gandarva. Sekali hantam tubuh-tubuh mereka terlempar jauh dengan luka menganga. Gandarva yang lain mengejar-ngejar penduduk desa yang lari berhamburan.

Mereka mengamuk sejadi-jadinya. Menghantam penduduk desa yang tidak mengerti apa-apa.

Dari atas bukit anak panah bermata perak yang dilesatkan oleh pasukan Ranggabuana terbang di langit dan mulai menghujani para gandarva. Gandarva yang terkena panah perak menggeliat kesakitan kemudian tubuhnya berangsur berubah menjadi abu. Pasukan pemanah Ranggabuana terbagi menjadi dua tugas. Kelompok pertama melindungi penduduk desa dari kejauhan. Kelompok kedua terus menerus membidik ke arah celah tempat gandarva bermunculan. 

Tapi jumlah gandarva yang menyeberang sangat banyak. Seperti gelombang yang tak ada habis-habisnya. Dalam waktu singkat ratusan gandarva telah sampai ke dunia manusia dan mulai menghancurkan apa saja yang mereka temukan.

Dari atap-atap rumah desa, para pendekar meloncat turun menghadang gandarva yang mengejar penduduk desa. Pertempuran pun terjadi. Tapi tenaga gandarva sangat kuat. Jika ditangkis, lawannya akan terlempar. Menyadari itu para pendekar memilih berkelit sambil balas menyerang dengan pedang perak yang mereka bawa.

Samsara dan belasan kantiana datang membantu. Mereka muncul dari hutan tepi desa dan meloncat-loncat dari atap-atap rumah penduduk menyongsong gandarva yang mengamuk. 

Kali ini gandarva menemukan lawan sepadan. Kantiana tidak mudah dihantam begitu saja. Mereka mampu menangkis sambil melancarkan serangan. Satu sabetan selendang kantiana mampu membuat gandarva terlempar berguling-guling di tanah. Sabetan berikutnya gandarva roboh dan luruh menjadi abu. Pertempuran antara gandarva dan kantiana seperti banteng melawan burung bangau. Kekuatan melawan kelincahan.

Di ujung desa Nawang dan Raynar bersiap turun ke medan pertempuran.

"Kali ini kita bersama-sama," kata Nawang. Ia tidak mau lagi melepas Raynar barang sekejap.

Raynar mengangguk. Ia mengambil batang kayu di dekatnya sebagai senjata.

Baru saja mereka hendak melangkah turun. Tiba-tiba beberapa bayangan hitam muncul menghalangi.

"Tolong kami pelintas batas," terdengar suara wanita.

Raynar menahan langkahnya.

Nawang langsung maju melindungi Raynar, "Kaum guwangan. Apa yang kalian inginkan?"

Puluhan bayangan gelap itu mulai menampakkan diri di sekeliling mereka. Wujud mereka tidak jelas hanya berupa wujud bayangan hitam melayang berkibar-kibar di gelapnya malam.

"Maafkan kami kantiana," sebuah bayangan maju mendekat. "Namaku Ractasi aku adik dari Ractasa."

Nawang terkejut, "Ractasi? Bukankah kamu telah..."

"Tidak, aku belum mati," ujar Ractasi.

Nawang terkesiap.

"Ractasa yang menyebarkan kabar bohong itu. Aku masih hidup. Aku sebenarnya melarikan diri menyeberang ke sini bersama pengawal dan dayang-dayangku juga sebagian rakyat gandarva." 

"Melarikan diri?" tanya Raynar.

Bayangan Ractasi melayang ke depan  Raynar.

"Maafkan aku pelintas. Kami melarikan diri karena hendak dibunuh Ractasa. Dahulu waktu Ractasa membuat perjanjian untuk membantu Jaka Sona meluaskan kerajaannya, sebenarnya tidak semua rakyat Angkara setuju. Tidak semua dari kami ingin perang antar gandarva."

"Perang antar gandarva?" Nawang maju mendekat.

"Ya. Ractasa juga punya rencana ingin memanfaatkan kesaktian Jaka Sona untuk  meluaskan kerajaan Angkara dengan memerangi kerajaan gandarva yang lain," jelas Ractasi. "Tapi aku sebagai salah satu pewaris tahta kerajaan menolak rencana itu. Sebagian penduduk juga banyak yang tidak setuju."

"Apa yang terjadi?"

"Ketika Ractasa sedang menyeberang sibuk memperbudak rakyatnya karena diperintah oleh pelintas untuk membuat danau, aku mengambil alih tahta kerajaan Angkara. Tetapi Ractasa kembali lebih cepat sehingga kami berhasil dilumpuhkan dan dipenjara.

Esoknya Ractasa bersiap membunuh kami di alun-alun kerajaan. Pada saat bersamaan  pelintas masuk ke Angkara dan mengamuk membabi buta. Di saat kekacauan itu, aku berhasil kabur dan menyeberang ke sini bersama gandarva-gandarva kepercayaanku." 

Nawang terkejut mendengar itu.

"Tapi kami tidak menyangka gerbang antar alam akan dikunci oleh Jaka Sona. Sejak terkunci kami tidak bisa kembali dan kehilangan wujud kami," ujar Ractasi.

"Mengapa kalian membutuhkan pertolonganku?" tanya Raynar.

"Ractasa tahu pelintas batas baru telah muncul yang akan membuka kembali kunci gerbang antar alam. Jika itu terjadi ia takut aku dan pengikutku akan dapat kembali ke alam gandarva menyusun kekuatan kembali," jelas Ractasi. "Itu sebabnya dia memanfaatkan Tongkat Perunggu untuk masuk ke sini. Selain membalaskan dendamnya pada manusia dia sebenarnya ingin mencari dan membunuhku. Tolong lindungi aku, pelintas. Tanpa tubuh kami tak berdaya."

Raynar dan Nawang berpandang-pandangan.

"Maaf, aku tak tahu bagaimana menolongmu. Menurut panglima kerajaan Samudera kemampuanku sebagai pelintas belum keluar seutuhnya," ujar Raynar.

Ractasi melayang mengitari Raynar.

"Pantas, cakramu tertutup oleh aura Tongkat Perunggu," jelasnya. "Aku akan buka."

Bayang hitam Ractasi perlahan menyelubungi Raynar.

Nawang spontan maju hendak melindungi. 

Raynar memberi isyarat jangan.

Bayangan hitam itu berputar seperti angin. Makin lama makin cepat menjadi topan. Tubuh Raynar melayang ke udara. Batang kayu terlepas dari tangan. Tiba-tiba tubuhnya mengeluarkan cahaya. Telapak tangan, kaki, dada, mulut dan matanya menyorotkan sinar terang. 

Tujuh cakra Raynar terbuka!

Cahaya itu meredup. Tubuh Raynar melayang turun perlahan.

Raynar mendadak merasa tubuhnya ringan dan lebih bertenaga. Seperti ada kumpulan energi yang meletup-letup dalam dirinya. Semakin lama semakin keras.

"Aku hanya membuka cakra yang terkunci, energimu akan mengalir dengan sendirinya nanti," ujar Ractasi sambil terengah-engah kelelahan.

"Terima kasih," ujar Raynar. "Kalian tunggu di sini dulu. Nanti kami kembali. Nawang ayo kita turun." 

Nawang dan Raynar kemudian berlari ke arah medan pertempuran. Di belakang mereka, puluhan bayangan hitam kaum guwangan melayang naik bersembunyi di pohon besar. 

Pasangan itu turun menuju desa yang nyaris porak poranda.


***

Bidadari KetujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang