Part 29: Hollow

555 93 0
                                    


Singto mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai pelatih pilot karena ingin meninggalkan markas dan menjauhkan dirinya dari segala memorinya bersama Krist. Ia mengganti nomor handphone nya dengan nomornya yang lama, sehingga Magie tidak dapat menghubunginya.

Singto tidak siap berbicara dengan Magie. Bagaimana jika wanita itu menyuruhnya untuk kembali ke rumah sakit? Bagaimana jika Singto melihat Krist sekali lagi? Ia pasti tidak akan sanggup meninggalkan Krist, pasti dirinya akan memaksa untuk berada di sisi Krist dan malah semakin menyakiti Krist.

Handphone Singto berdering... "Halo. Ada apa paman Chao?", sapa Singto kepada orang yang meneleponnya. "Singto dimana kau sekarang? Kakekmu mengalami serangan stroke lagi dan kata dokter mungkin ia tidak akan bertahan. Kumohon pulanglah ke rumah."
Singto sempat ragu untuk kembali ke rumahnya, namun akhirnya ia pun menuruti permintaan Chao.

Singto akhirnya menginjakkan kakinya di mansion milik Wen Group. Tempat yang dulu pernah menjadi rumahnya selama 8 tahun, sejak usianya 10 tahun. Pintu dengan design ala tradisional Tionghoa dengan ukiran naga emas bertuliskan 'Wen' itu terbuka dan orang-orang dalam grup yang semuanya mengenakan tuxedo berbaris menyambutnya.

"Selamat datang, Tuan Muda."

Kamar kakek Singto berada di seberang kolam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kamar kakek Singto berada di seberang kolam. Singto sudah tidak pernah mendatangi tempat itu selama 6 tahun lamanya. Ia tidak tahu apa yang akan ia katakan ketika bertemu dengan kakeknya lagi. Ketika pintu kamar itu dibuka, kamar kakeknya itu telah berubah menjadi ruang rawat di rumah sakit. Kakeknya terbaring di tempat tidur dengan berbagai peralatan life support menempel di tubuhnya. Singto pun dapat mendengar suara alat yang memonitor detak jantung kakeknya. Semua bunyi dan alat-alat itu mengingatkannya pada Krist.

"Tuan Wen. Singto disini.", ucap Chao pada kakek Singto yang nampak masih dapat mendengarnya walaupun tidak dapat merespon.

"Singto, ini surat yang kakekmu tulis sendiri.", ucap Chao sambil memberikan sebuah ipad kepada Singto. Singto dapat melihat sebuah surat digital yang ditulis tangan oleh kakeknya, berisi ucapan maaf kakeknya karena telah gagal melindungi kedua orang tuanya.

Kakek nya itu pun berpesan agar Singto tetap tinggal di dalam Wen Group, agar seluruh orang di dalam grup dapat melindunginya. Kakeknya telah menyingkirkan orang-orang dalam grup yang dapat menyakiti Singto. Seluruh orang yang bekerja dalam Wen Group telah bersumpah setia pada Wen Group dengan memberi sayatan di tubuh mereka membentuk kanji "文" yang dibaca Wén. Bukan hanya tattoo, karena tattoo permanen sekalipun dapat dihapus. Tetapi sayatan pisau akan membekas selamanya dan membuktikan kesetiaan mereka pada grup sampai selamanya. Kakeknya menjamin seluruh orang yang akan bekerja pada Singto hanya orang-orang setia pilihannya.

Singto menoleh ke arah Chao dan Chao pun membuka pakaiannya, menunjukkan sayatan yang membentuk kanji itu pada dada sebelah kiri nya.

"Sekarang kau tahu, Singto. Kakekmu tidak pernah ingin menyakitimu. Ia hanya ingin melindungi mu dari orang yang berniat jahat padamu. Musuh Wen Group bukan sembarang orang. Ditambah lagi dengan kondisi dunia seperti saat ini, kematian manusia tidak akan ada artinya lagi. Tolonglah kembali untuk orang-orang yang telah bersedia mengorbankan nyawanya demi grup dan demi kau, Singto. Jangan sampai dinasti yang telah dibangun susah payah oleh leluhurmu harus hancur di tanganmu."

Chao pun menunjukkan surat wasiat kakek Singto pada ipad tersebut. "Ini adalah surat wasiat kakekmu, untuk memberikan seluruh aset Wen Group di tanganmu. Kakekmu telah memberikan cap sidik jarinya disini. Kau hanya perlu memberikan sidik jari mu."

Singto merasa bimbang untuk kembali, namun ia juga tidak dapat meninggalkan orang-orang yang telah bersumpah setia padanya. Mereka juga yang telah mengurusnya dari kecil, sudah ia anggap sebagai keluarganya. "Jika aku menggantikan posisi kakek, maka Wen Group akan berbisnis sesuai dengan caraku.", ucap Singto pada Chao.

"Kami akan mengikuti apapun perintah Boss."

Akhirnya Singto pun memberikan sidik jari nya pada surat wasiat digital tersebut. Kini Wen Group resmi menjadi miliknya. Beberapa jam kemudian, monitor denyut jantung kakek Singto memberikan alarm, pertanda tidak baik. Team dokter datang ke dalam ruangan itu dan berusaha melakukan segala pertolongan yang mereka bisa. Namun, denyut jantung kakek Singto tidak kembali.

***

Krist masih berada di ruang rumah sakit tempat ia dirawat. Sendirian. Ibunya sedang pergi membeli makan malam. Ia merasa hampa. Biasanya ada suara seorang laki-laki yang selalu bercerita padanya tentang segala kejadian yang menimpanya di hari itu. Terkadang cerita yang tidak penting bagi Krist. Namun mengapa sekarang ia merindukan itu? Ia merindukan cerita-cerita tidak penting laki-laki itu. Ia merindukan senyumannya. Terlebih lagi, ia merindukan usapan lembut laki-laki itu pada rambutnya yang akan membuatnya tidur nyenyak. Kini semua itu hilang dan rasanya hampa. Namun Krist belum menyadari bahwa kehampaan yang ia rasakan adalah karena kekosongan hatinya. Ia kira, dirinya hanya perlu beradaptasi dari kebiasaan lama.

Sudah 2 bulan lamanya laki-laki itu tidak pernah datang menemui Krist. Sering terlintas di dalam benak Krist, "Apa yang sedang ia lakukan? Apakah ia baik-baik saja?", namun Krist tidak dapat menanyakan itu semua. Singto telah mendengar semua perkataan jahatnya, pasti sangat sakit bagi Singto. Wajar jika laki-laki itu kini meninggalkannya.

"Krist, apa yang sedang kamu lakukan?"
Magie melihat putranya itu sedang duduk di tempat tidurnya dan memandang ke luar jendela. Krist menoleh pada Magie. "Krist, kau menangis? Ada apa?"

"Ibu. Ayo kita kembali ke Singapura saja."

Tess
Tess
Air matanya menetes mengenai punggung tangannya.

The Solar HollowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang