Benang Hitam

4 0 0
                                    

Bilang pada dunia jika aku bohong. Teriakan ke langit jika aku tidak berjuang. Dan silahkan bungkam jika memang aku tidak selalu ada?.
Kalimat itu mengiris dedaunan pinus dan melempar asa membelah awan-awan malam. Hening, tanpa ada perbincangan lagi setelah itu. Herman lelah dengan tingkah mida. Semenjak ciuman pertama itu tak sengaja dicurinya. Mida tak lekas membaik hatinya. Dia terperangkap dalam perasaan. Perasaan ragu, resah, dan cemas jika rasa sayang hanya sekedar bentang nafsu, lantas setelah itu dilupakan. Setiap hari mida menelpon, tidak satupun malam dia lupa untuk mengisi daftar panggilan kepada pria itu. Herman.

Herman bukan tipe pria romantis, bermanja apa lagi harus mengulang kalimat yang sama. Dia hanya mampu berterus terang. dan itu cukup sekali. Tidak seperti ayahnya, mampu berbaik hati pada setiap kaum hawa yang ditemani nya. Baik, setiap malam di pojok bar sana. Atau khilaf dalam sebuah rumah tuhan yang dikenal ibadah.

"Mengertilah, aku sudah sampaikan bukan?", herman melepas sesak di ujung telepon suatu malam.
" Aku hanya takut"
"Sudah, jangan terjadi perdebatan lagi"
"Aku hanya ingin, kau tak hilang begitu saja"
"Hilang? Aku bukan hantu mida."
"Tentu kau paham  maksud ku"
Herman diam di ujung sana, hanya terdengar beberapa transportasi malam lalu lalang. Jelas dia belum pulang ke rumah isterinya. Siapa juga yang mau bertelponan dengan wanita lain, didepan isteri sendiri.
Mida melanjutkan. "Belakangan, kau tidak se aktif biasanya. Selalu aku yang memulai pembicaraan, atau bahkan menelpon"

"Jangan berkesimpulan sendiri lagi. Soudzon namanya".

"Tidak. Ini tidak sama, ketika  sebelum kau mencurinya dariku"

Lagi-lagi herman terdiam.

@daWahid

daWahid da tulisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang