Haii!! Pasti udah nggak sabar buat baca part 7, yaa??
Siapa yang udah siap buat baca part ini??
Siapa yang udah siap menguras emosi lagi di part ini??—Happy reading—
***
“Aku pengen semuanya kayak dulu. Kenapa waktu sangat kejam dan nggak adil, sih? Dan kenapa Tuhan ngasih aku penyakit ini?”
—Killa Putri Amalia.
***
WALAUPUN hal seperti tadi sudah berlalu beberapa menit yang lalu, namun Killa tetap tersenyum sendiri dan detak jantungnya masih berdetak lebih cepat dari biasanya. Entah mengapa hatinya masih merasakan kehangatan. Saat ini, Killa tengah duduk di sofa ruang tengah sambil menyalakan televisinya. Dia tampak fokus membuat nametag ukuran 30 x 25 cm untuk keperluan MOS besok, namun dia selalu tersenyum sendiri. Tersenyum sendiri karena Aris dan kejadian tadi bersama Aris. Hari ini, sungguh menyenangkan sekaligus menyedihkan—sebab Killa tadi juga dibully oleh dua teman sekelasnya, bahkan dipermalukan di depan teman-temannya.
Killa tak sendiri di ruang tengah. Dia bersama Fero dan Bagas—mereka memang pulang siang, terutama Bagas, karena masih kelas 4 SD. Sedangkan Fero, hari ini dia hanya masuk setengah hari di hari pertama di sekolahnya. Namun, tanpa Killa sadari, sedari tadi, Fero dan Bagas diam-diam memerhatikan Killa sambil menonton tayangan televisi sekarang.
“Kak Killa kenapa senyum-senyum aja, sih, dari tadi?? Awas nanti salah buat nametag, tuh,” ucap Bagas yang tak tahan dengan rasa penasarannya, tentang mengapa kakaknya tersenyum sendiri sedari tadi. Tentu saja hal itu membuat Killa tersentak, lalu menoleh ke arah kedua adiknya yang berada di sisi kanannya.
“Tau lo, Kil. Senyum-senyum aja. Kenapa, sih? Kayaknya muka elo bahagia gitu? Cerita, dong. Jarang-jarang lo senyum sama bahagia kayak sekarang, biasanya, kan, elo selalu murung,” sahut Fero menimpali. Menatap Killa menyelidik.
Jleb.
Killa menatap kedua adiknya dalam hening selama beberapa saat. Dia tak menduga jika kedua adiknya memerhatikan hal ini. Killa benar-benar malu karena terciduk. Apa dia harus mengatakan hal sebenarnya?
“Eh? Nggak, bukan apa-apa. Ta—tadi Kakak seneng aja abis ngasih uang Kakak ke pemulung di pinggir jalan,” sahut Killa bergetar. Killa mulai menegukkan salivanya karena suasana kembali hening—tak ada yang berbicara, baik Bagas maupun Fero. Keduanya menatap Killa dalam.
“Tapi, Kak, kayaknya biasanya elo nggak senyum sendiri sampe lama banget. Dari tadi gue liatin, udah sepuluh menit sejak lo pulang, lo masih aja senyum. Lo nggak nyembunyiin sesuatu, kan?” tanya Fero menyelidik. Membuat Killa menegukkan salivanya.
Jleb.
Jika saja ada event 'detektif terbaik' di lingkungan sekitarnya, maka Killa rasa Fero cocok untuk mengikutinya dan dijamin menang. Pasalnya Fero selalu saja menyelidikinya layaknya seorang detektif, jika dia merasa ada suatu hal yang ganjil atau aneh. Sudah dua kali Killa tertangkap basah berbohong ke dua adiknya. Pertama kali, saat Killa diam-diam membuang sayur di tempat sampah, namun ketika dia ditanya Fero apa sudah makan sayurnya atau belum, dia menjawab sudah. Tetapi, Fero menemukan faktanya—sayur yang harus dimakan Killa ada di tempat sampah dapur. Kedua kalinya, Killa pernah membuang obat tablet yang harus dia minum agar bisa mengurangi risiko anemia aplastiknya—ke tempat sampah di luar rumahnya—Fero juga mengetahuinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Killa, Luka, dan Cinta [TERBIT]
Teen Fiction•Terbit di Penerbit Prospec Media pada bulan Februari 2022• *** [SPIN-OFF HEARTACHE, I'M (NOT) FINE, DAN LOST MY EUPHORIA] *** ⚠️ SEBAGIAN PART DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN⚠️ *** #4 ALASKAR ••Disarankan membaca Novel Heartache, I'm (Not) Fin...