Setelah kejadian yang lalu, Jenar mengurung diri di kamar dan juga tidak mau makan. Dia bahkan sudah dua hari tidak berangkat ke sekolah. Jenar sangat dekat dengan Ayahnya, dengan adanya kejadian itu sudah pasti membuat dia sangat terpukul dan merasakan kecewa yang mendalam. Apalagi dia sendiri yang memergoki Ayahnya berselingkuh.
"Jenar, buka pintunya, sayang," pinta sang Ibu.
Jenar akhirnya membuka pintunya dan membiarkan sang Ibu untuk masuk.
"Makan ya, Nar." Jenar menggeleng, sang Ibu hanya bisa menghela napas, susah sekali membujuk putrinya untuk makan.
"Kenapa Ayah tega selingkuhin Ibu?
"Mungkin Ayah kamu udah nggak cinta sama Ibu, jadi dia ngelakuin itu, sayang."
"Ibu sama Ayah bakal cerai?" Ibunya hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Are you okay?"
"No. I'm not, Ibu marah, sedih, kecewa. Rasanya campur aduk, but life must go on, right? Nggak boleh berlarut-larut, kamu juga harus gitu, sayang," kata sang Ibu sambil mengusap rambut Jenar.
Jenar memeluk Ibunya. "Aku kecewa sama Ayah." Dia mulai terisak lagi.
"It's okay, asal jangan benci ya Nar, dia tetep Ayah kamu."
"Mau ikut pelukan dong," sahut Jessie yang sudah ada di depan kamar Jenar.
"Eh kamu, sini masuk, Jess. Dania mana kok sendirian aja."
"Iyanih, Dania ada rapat Osis tan,"
"Oh gitu, Ibu turun ya mau manasin makanan, abang kamu pasti bentar lagi pulang."
"Kamu mau minum apa Jess, biar tante bikinin."
Jenar menghapus sisa air matanya. "Nggak usah Bu, biasanya juga dia bikin sendiri," kata Jenar
"Iya tante, nggak usah repot-repot nanti Jessie bikin sendiri."
"Ya udah kalau gitu." sang Ibupun keluar dari kamar Jenar.
"How are you baby bear?" Jessie memeluk dan mengusap-usap punggung Jenar.
"I'm fine." Jawab jenar lemah.
"Lemes banget, Sendi nanya katanya lo sakit apa, terus dia mau jenguk boleh nggak?"
"Kan gue nggak sakit, gimana sih."
"Ya kan surat izinnya lo sakit, dodol."
"Besok gue berangkat kok,"
"Lo nangis berapa hari deh, Nar. Mata lo bengkak banget. Kalau Kak Jeff liat pasti dia nggak bakal ngenalin lo deh."
Jenar menoyor kepala Jessie. "Lebay, nggak segitunya kali."
"Tapi nggak papa kok, puas-puasin nangisnya setelah ini lo nggak boleh nangis lagi."
"Hmm, lo pulang sekolah langsung ke sini, Jess?"
"Iyalah, lo nggak liat apa gue masih pake seragam."
"Nggak usah ngegas dong, sana turun makan dulu."
"Nggak usah mikirin gue, yang harusnya makan tuh lo yang nggak makan dua hari."
"Gue makan kok."
Jessie menaikan sebelah alisnya. "Makan apa lo, orang kata Kak Dony lo ngga keluar kamar."
"Makan angin, hehe." Jenar tersenyum menampilan gummysmilenya.
Jessie menimpuk Jenar menggunakan bantal. "Garing lo, tapi bagus deh lo udah bisa senyum."
"Temenin ngedrakor yuk," pinta Jenar, sebenarnya Jessie nggak suka drakor dia lebih suka anime. Partner ngedrakor Jenar yang sesungguhnya adalah Dania.
"Sekali ini aja ya, karena lo lagi sedih jadi gue temenin," kalau Jenar tidak sedang sedih Jessie mana mau nemenin Jenar ngedrakor.
"Iya-iya."
Setelah satu jam menonton, Jenar ketiduran mungkin lelah karena terus menangis. Dan karena sudah sore juga akhirnya Jessie pamit pulang ke tante Nindy.
"Sepi banget, Ibu kemana?" tanya Jeffry."Ibu berangkat ke Bandung ngurus perceraian, Jenar masih di kamar nggak mau keluar."
"Oh, gue ke kamar Jenar ya."
"Hmm, bujuk dia supaya makan juga Jeff, dia belum makan."
Jeffry langsung menuju kamar Jenar di lantai dua dan ternyata pintu kamarnya tidak dikunci. Dia langsung saja masuk ke kamarnya, ternyata sang empunya kamar sedang tidur.
"Sayang, bangun yuk. Makan dulu." Jeffry mengelus rambut Jenar lembut.
Merasa tidurnya terganggu Jenar membuka matanya, dan hal yang pertama kali dia liat adalah Jeffry yang tengah tersenyum dan menampilkan dimplenya. Untuk sesaat Jenar hanya memandangi wajah Jeffry.
"Aku ganteng banget ya sampe kamu nggak ngedip gitu."
"Hm, look at this art," puji Jenar.
Jeffry mengecup dahi Jenar singkat. "Belajar gombal dari mana kamu?"
Jenar bangun dari tidurnya dan menyeder di headboard kasurnya, "Aku tuh muji, bukan gombal."
Jeffry terkekeh. "Makasih kalau gitu, makan yaa sayang," Jenar menggeleng. "Aku suapin deh, perut kamu tuh harus diisi."
"Janji sedikit aja?" Jeffry mengangguk, "Mau makan di bawah atau di kamar."
"Di kamar aja."
"Cuci muka gih, aku ambil makanannya dulu."
Beberapa menit kemudian Jeffry muncul dengan sebuah nampan, yang berisi sepiring makanan dan segelas air putih tidak lupa ada sepiring stroberi juga. Jenar juga sudah selesai mencuci mukanya.
"Dua suapan lagi ya."
"Udah, nggak mau lagi."
"Ini suapan terakhir deh." Akhirnya Jenar menerima suapan terakhir dari Jeffry.
Jeffry menerima gelas yang isinya tersisa setengah lalu menaruhnya di atas nakas.
"Feels better now?" Jenar mengangguk.
Tangan Jeffry terulur untuk membelai pipi Jenar dan matanya terus memandang mata sendu Jenar.
"I said it was fine, but I never said it didn't hurt," ucap Jenar lirih. "Mereka mau cerai, Yan." Jeffry membawa Jenar ke dalam pelukannya dan mengusap rambut Jenar.
"Mungkin itu keputusan yang terbaik buat mereka, itu juga udah permintaan Ibu kan. Nggak mungkin juga dipaksain untuk terus bersama kalau salah satunya udah nggak mau, nanti ujung-ujungnya saling menyakiti.
"Cuma butuh waktu, everything's gonna be okay, Ra."
Jenar mengangguk dalam pelukannya. "Remember, I'm always on your side," kata Jeffry.
"Even at my worst?"
"Especially at your worst, sayang."
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐎𝐔𝐑 𝐒𝐓𝐎𝐑𝐘
RomanceTheir story and how they keep their relationship. ©pringluv, 2021