Perasaan Ray membaik. Tidak dapat dipungkiri, Ray merasa semuanya akan segera berakhir sesuai dalam konteks yang ia harapkan. Dirinya jujur masih tidak percaya ia mampu mengakhiri seluruh benang kusut itu.
Ray melipat kedua lengan di permukaan meja, menjatuhkan kepala ke atasnya.
"Sampai bertemu besok, Ma."
🌹🌹🌹
Suara kunci mobil terdengar samar dari saku jeans Ray.
Pada akhirnya, Ray kembali ke rumah Arkanais. Menjinjing harap dan tekad untuk berbicara empat mata sekali lagi–mungkin yang terakhir–dengan Rima setelah ajang tertundanya dengan Hana.
"Pagi," katanya duduk di ruang tamu yang sama.
Secangkir teh favorit dari orang favoritnya tersaji. Rima mendudukkan diri bersandingan.
Ray membuka, "sehubungan sambungan telepon kita semalam, aku tahu apa yang Mama dan Azzura bicarakan berdua saat itu."
"Seperti yang kamu bilang." Alis Ray terangkat. Rupanya Rima tidak mengelak atau mengantisipasi.
"Aku tahu Mama dan Azzura tidak pernah baik-baik saja. Kalian menyembunyikan sesuatu dibelakang aku."
Paruh baya itu berulang kali meniup udara panas dari tepian cangkir. Gambaran lekuk gugup terpantul dari permukaan teh yang ia sesap. "Iya."
"Pertanyaannya, kenapa, Ma?" Respons pertanyaan Ray yang satu itu berputar-putar tanpa inti.
"Kita belum tahu latar bela–"
Sebuah anggukan pelan tergerak. "Aku tahu itu. Mama sudah pernah bilang."
"Berarti memang itu alasannya, Rayen. Oke?"
Kontras, Ray menggeleng tidak setuju. "Bukan."
Rima meremas ujung pakaiannya. Dirinya yang semenjak kemarin merasa ganjal karena terus-menerus menguak perasaan, salah satunya bersama Azzura, sekarang dihadapkan kondisi seperti ini.
"Itu benar," dalihnya.
"Bukan."
"Ray, berhenti memancing Mama."
"Menurutku bukan, baik bukan untuk memancing Mama, tapi bukan itu juga alasan yang sebenarnya."
"Oh, Tuhan." Rima mendesah. Lelah bersandar pada kepercayaannya ketika wanita itu sudah di ujung tanduk.
Ray kenal nada bicara Rima yang seperti itu. Rima ceroboh jika mengira bisa membohongi darah dagingnya sendiri.
"Mama pasti tau gimana posisinya jadi Azzura, 'kan?"
Otomatis kontak mata mereka diputus sepihak oleh Rima.
Rima terlihat mengangguk sangat pelan. Kemudian disusul dengan gemeretak gigi yang beradu dalam gemetar.
Dari bibirnya yang sudah asing untuk tersenyum, terlontar pengakuan jujur pada sang anak.
"Mungkin karena itu."
Rima tidak bermaksud dengan sengaja melemparkan seluruh rasa yang ia tahan pada Azzura. Hanya saja, hati kecil perlu sedikit cara untuk melepaskan dengan ikhlas. Ironis, hatinya sendiri yang memilih Azzura sebagai target.
Ray dan Rima mengenang masa-masa krusial yang pernah wanita itu bagikan pada anaknya. Mematung seribu bahasa.
"Makan yang banyak, ya, sayang."
Terdengar intonasi keibuan menyapa gendang telinga Ray sekian tahun lalu. Waktu itu, usianya belum melewati jumlah jarinya.
Kala sedang kerepotan menyuapkan anak semata mayangnya, sendok yang terangkat terhenti di udara. Satu suara yang sudah ia dengar setengah dasawarsa itu adalah pemicunya.
![](https://img.wattpad.com/cover/250683659-288-k30197.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
La Vie en Rose | ✔
General FictionHighest rank #1 sastraindonesia (12/06/2023) #1 azzura (02/10/2023) #2 kontrak (05/01/2024) #3 yaindonesia (04/01/2024) #3 bali (19/05/2023) #9 comfort (12/05/2023) #10 ray (13/09/2023) #26 kimsoohyun (29/05/2023) #27 kantor (12/05/2023) #27 mantan...