24 • Voir La Vie en Rose

243 45 125
                                    

Kamera-kamera tampak berjajar di penjuru aula. Belum lagi sudah ada puluhan orang yang menunggu dengan raut antusias.

Tepat ketika figur yang telah dinanti tertangkap di layar perangkat-perangkat canggih tersebut, kilatan lensa berlomba-lomba mengambil gambar sebanyak mungkin.

Tidak satu pun ingin kehilangan momen untuk mengabadikan penulis dengan reputasi baik itu dalam headline berita tulisan mereka.

Di depan meja dengan tumpukan novel-novel bersegel, pemuda tampan menebar karismanya. Meraih mikrofon yang dipersiapkan oleh panitia.

"Selamat siang semuanya!"

Riuh-riuh penggemar yang turut hadir sedikit menutupi suaranya.

"Pertama, terima kasih untuk semua yang sudah datang di acara launching novel terbaru sang-pemburu." Ia menjeda sebentar.

"Aku juga berterima kasih karena antusiasme kalian yang selalu menunggu karya ini walau sempat ditunda penerbitannya."

Dengan kalimat tersebut, pemilik epitet sang-pemburu itu resmi membuka acara besar itu.

"Nah ... " seruan panitia yang bertugas sebagai moderator acara terdengar. "Sepertinya udah pada gak sabar, ya?"

Wanita berkacamata itu sedikit tertawa. Mendecak kagum mengetahui reaksi luar biasa di sekitar.

"Langsung aja, nih. Kita mau bedah buku terbaru sang-pemburu. Boleh, dong, tanya-tanya sama penulisnya?"

Orion, penyebab jeritan histeris yang memenuhi ruangan, mengangguk semangat.

"Boleh, kok."

"Gak mau perkenalan dulu, nih, Kak? Kakak pakai nama sang-pemburu, mungkin bisa bagi nama aslinya." Ekspresi wanita itu terlihat jail.

"Mungkin lain hari," balasnya dengan pipi yang sepenuhnya terangkat.

Biar saja. Ia memang sengaja belum mengumumkan identitas pribadinya dalam waktu dekat. Yang penting sekarang dikenal melalui karya, bukan?

Kekehan gemas terdengar. "Memang, misterius namanya. Untung orangnya gak, ya."

"Kita mulai, yuk. Seperti yang sudah bisa kita lihat di media sosial Larose Publishing dan flyer, judulnya menarik, nih," sambungnya.

Kepala Rion mengangguk. "Iya. Ending Scene."

"Itu dia, Ending Scene. Debut kemarin 'kan bahas remaja belajar mendewasakan diri dari masalahnya. Mau tau, dong, kali ini genre atau tema apa yang diangkat?"

Dehaman pelan lolos dari sang penulis, kemudian mendekatkan pengeras suara ke mulut.

"Di buku ini, aku coba membawa drama dan dilema yang dialami oleh tahapan selanjutnya, dewasa muda. Di mana masih ada sedikit keputusan-keputusan labil, tapi harus mereka hadapi."

"Semua pasti pada pingin tau, nih, Kak. Kasih bocorannya, yuk!"

Dilayangkannya anggukan pelan ke arah wanita itu. Membuang napas yang sedikit gugup sebelum menjabarkan detil projek terbarunya.

"Garis besar Ending Scene ditulis dari sudut pandang seorang laki-laki yang berkunjung ke rumah lamanya." Pandangan pemuda itu berkeliling ke seantero ruangan.

"Dari awal tiba, ia menemukan banyak kenangan yang sempat ia lupakan bersama sang mantan istrinya. Dalam novelnya, dia mengenang masa lalunya, suka-duka, dan keputusan penting yang bisa laki-laki itu dilakukan."

Kelembutan terpancar dari cara bicara Rion. "Ending Scene adalah serangkaian usahanya merelakan, pergi dari rumah bersejarah itu untuk kembali menata hati."

La Vie en Rose | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang