2 • Laki-laki di Sudut Bar

393 112 261
                                    

Azzura tau seharusnya sekarang ia langsung pulang. Akan tetapi, rasa penasaran akibat melihat tingkah aneh senior di kantornya itu memaksanya melakukan hal sebaliknya.

Tenang, ini tidak akan memakan waktu lama. Yang akan Azzura lakukan hanya mengikutinya sedikit, melihat apa yang terjadi di sana, kemudian bergegas pulang seperti rencana awalnya. Azzura juga sempat berpikir, mungkin ada bagusnya juga ia mengenal daerah sekitar basecamp kerjanya.

Kaki Azzura perlahan terayun, mengikuti pemuda yang tidak ia ketahui tujuan perginya.

🌹🌹🌹

Seutas senyum semringah tidak luntur dari wajah pemuda tampan ini. Ada rasa bangga dalam dirinya ketika berhasil mengarahkan projek ini dan bekerja sama hingga mendapatkan hasil sebaik ini.

"Sering-sering aja sukses begini, lama-lama bisa dapat promosi naik gaji dari pusat, nih." Ray menggumam sendiri diakhiri dengan tawa geli.

Beruntung, jika sedang malas menyetir seperti ini, Ray hanya tinggal berjalan kaki lewat lorong-lorong kecil untuk sampai ke apartemen pribadinya. Letak apartemennya cukup strategis. Tidak terlalu jauh, tidak pula terlalu dekat dengan kantornya.

Tengah asik-asik bercanda dengan dirinya sendiri sambil bersenandung, Ray dikejutkan dengan dering dari ponselnya.

Mama is calling.

Tatapannya berubah jengah. Ia sempat mendecak. Ada saja hal yang merusak suasana hatinya di tengah hari yang sedang berbahagia.

"Halo," bukanya pelan.

"Jadi gimana yang kata kamu kemarin?"

Tak perlu menunggu lama untuk wanita yang menghubunginya itu langsung masuk ke inti pembicaraan. Bahkan beliau lupa untuk memberi salam.

Ray memijit batang hidungnya pelan. Apa ibunya tidak punya pertanyaan lain?

"Ray lagi gak mau bahas itu, Ma."

Suara di seberang sana membalas dengan dengusan sebal, tidak setuju sang anak menyepelekan masalah yang ia bahas.

"Kamu sudah 24 tahun, Ray. Seharusnya kamu sekarang bawa calon tunangan kamu ke sini. Mana? Katanya kamu janji hari ini?"

Oh. Ray melupakan hal itu. Sial, kenapa pula sang ibu harus ingat di saat dia tidak peduli?

"Mungkin lebih tepatnya baru 24 tahun," balasnya penuh penekanan, "aku pasti tepatin, kok, Ma."

Sempat diam, Mama menghela napas berat.

"Maksud kamu, kamu mau pilih asal? Mama gak mau kamu ambil sembarang wanita yang gak jelas bibit, bebet, dan bobotnya."

Kepala Ray mulai berdenyut. Masalah ini rasanya terlalu berlarut.

"Itu urusan aku, Ma. Aku bisa nentuin hidup aku sendiri, 'kan?"

Dengan kalimat tersebut, ia harap Mama dapat memberinya dispensasi. Sayangnya, Mama bukanlah seorang dengan pendirian yang mudah digoyah. Terlebih setelah Ray, anak semata wayangnya, memutuskan tinggal mandiri di apartemen karena lelah dengan sikap wanita berusia setengah abad itu.

"Hidup kamu itu tanggungan mama. Kebahagiaan kamu, kebahagiaan Mama-Papa. Mama mau yang terbaik buat kamu. Mama minta kamu pulang, kita bicarain semua tentang kamu dan 'dia', oke?"

Dia, ya?

Ray tau dia yang Mama maksud adalah orang yang hampir sempurna. Hidupnya gemilang, hanya orang bodoh yang menolak dia. Jujur, dulu, bisa bersama dia adalah salah satu impian terbesar Ray.

La Vie en Rose | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang