Ray belum terlalu mengerti akan perasaan tidak ingin kehilangan yang ada di dadanya.
Apakah ia jatuh cinta pada Azzura? Siapa yang tahu.
Yang terpenting untuk sekarang, dirinya harus bisa melindungi dan mempertahankan Azzura di tangannya. Bahkan jika harus terlambat mengerti, mereka tidak boleh berakhir seperti ini.
"Don't leave me."
Mata mereka bertumbukan. Keduanya samar-samar menyiratkan sesuatu yang tak kunjung tersampaikan.
"Then win me back."
🌹🌹🌹
Ray mengacak-acak rambut hitamnya.
Ini sudah waktunya berangkat kerja, tapi rasanya masih berat untuk Ray. Terlalu banyak yang ia pikirkan, terlalu banyak yang ia gumulkan.
Matanya menatap pintu yang tertutup. Lagi-lagi, Azzura tidak mau pergi bersama.
Hei, keberaniannya untuk apa? Apakah pembicaraan kemarin itu menyelesaikan sesuatu? Entahlah, Ray sendiri tak yakin.
"Semakin banyak kita bicara, semakin sering kita bertikai. Kamu gak sadar itu? Dasar Ray bodoh."
Dia merutuki kecerobohannya yang membiarkan jarak kembali memasuki hubungannya dan Azzura.
Sekarang, Azzura sudah celik dengan posisinya—kalah selangkah dari Hana di depan ibunya.
Rima bersikeras menjodohkannya dengan Hana. Lalu melemparkan opsi sulit.
Dirinya yang berada di tengah harus bagaimana?
Ray harus memilih antara keduanya; Hana agar tidak mengecewakan sang ibu, atau Azzura yang sudah ia libatkan dalam masalah ini.
Pada dasarnya, Azzura tanggung jawabnya. Masuk ke permainan yang rumit adalah hal yang tidak mungkin bagi Azzura jika saja Ray tidak pernah mengadakan perjanjian itu.
Tunggu.
Lagi pun, setelah dipikir-pikir dengan kenyataan di depan pelupuknya, mau Ray paksakan sekeras apa pun untuk menghindari keinginan sang mama, keputusan itu sulit sekali berubah.
Waktu berputar seakan usahanya–dan Azzura, tentu saja–menjadi sia-sia.
"Ah, entahlah!"
Diraihnya kunci mobil itu dengan kecamuk yang sama. Perjalanan cintanya tertatih-tatih.
Rayen Arkanais mencoba menghidupi hari sebagaimana takdir membawanya. Sekalipun jika harus mengalah padanya.
🌹🌹🌹
"Aku pulang."
Sang eksekutif Larose merapatkan kursi putar ke bawah meja kerjanya. Pekerjaannya usai untuk hari ini.
Carina mengernyit ketika mengikuti sumber derit pintu putih itu. Caranya meninggalkan mereka semua sungguh irit ekspresi, terlihat tidak seperti biasa.
Ditumpuknya asal buku-buku sampel dan peralatan tulis-menulis. Kepalanya berulang kali mengecek kemana Ray pergi dari kaca yang terbentang seluas dinding.
"Ray."
Bukan mengindahkan panggilan Carina, pemuda itu semakin melaju menjauh. Membuat Carina terpaksa mempercepat jalannya.
Gadis yang biasa dipanggil Rin menegurnya sekali lagi. Kali ini dengan suara yang lebih lantang.
"Hei, Ray!"
Sama keras kepalanya, Ray tak menggubris hal yang ia dengar. Dia kenal Carina luar-dalam. Gadis itu akan berhenti memanggilnya 'Bos Gila' dalam hal-hal tertentu, contohnya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
La Vie en Rose | ✔
General FictionHighest rank #1 sastraindonesia (12/06/2023) #1 azzura (02/10/2023) #2 kontrak (05/01/2024) #3 yaindonesia (04/01/2024) #3 bali (19/05/2023) #9 comfort (12/05/2023) #10 ray (13/09/2023) #26 kimsoohyun (29/05/2023) #27 kantor (12/05/2023) #27 mantan...